Lukisan Kedua Puluh Lima

704 98 25
                                    

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Pandangannya kosong. Aura masih tidak bisa memercayai situasi yang terjadi saat ini. Ia berharap semua yang ia lihat sekarang hanya mimpi. Namun, semua adalah kenyataan yang harus ia hadapi meski dengan hati yang tercabik.

Baru seminggu lalu, ia mengenakan pakaian putih yang melambangkan kesucian cinta dan kasih yang berusaha dikaitkan kembali antara hatinya dan pria yang pernah ia cintai. Hari ini, gambaran indah seminggu lalu menjadi mimpi buruk yang tidak ingin Aura lewati. Pakaian putih yang ia kenakan, berubah menjadi pakaian serba hitam yang menggambarkan kesedihan dan kepiluan.

Masih teringat jelas, saat-saat di mana ia berhadapan dengan Rigel dalam pertemuan intim, setelah sekian lama menjadi asing bagi satu sama lain. Rigel mengajaknya berbicara serius, tentang Anka dan semua permasalahan yang melanda hubungan mereka.

"Jadi, kita harus menikah lagi demi Anka?"  Aura bertanya dengan tatapan lurus ke depan dan tangannya menyilang di depan dada. Terdengar jelas kesinisan dari nada bicaranya, dan itu membuat Rigel menjadi sedikit gugup untuk menyatakan maksud pembicaraan.

"Tidak hanya untuk Anka saja. Ini adalah sebuah usaha untuk memperbaiki semuanya, Ra."

Aura berdecih. Tidak serta-merta percaya pada pernyataan Rigel. Menikah lagi dan memperbaiki semua kerusakan yang sudah mereka ciptakan sendiri? Tidak semudah itu bagi Aura. Dirinya memang tidak memungkiri bahwa ia tak bisa begitu saja berpindah hati dari Rigel, tapi ia memiliki harga diri yang tinggi. Tak ingin begitu saja setuju dengan kesepakatan klise yang Rigel buat. Ia tak ingin menjadi murahan dengan menerima ajakan Rigel secepat itu, meski selama ini pun ia berharap untuk memperbaiki.

"Setelah sekian lama, akhirnya kamu meminta untuk kembali? Kamu pikir bisa semudah itu, Rigel?" Aura menantang. Sementara Rigel menghela napas panjang. Rigel memejamkan mata sembari menelan ludah dengan susah payah. "Tidak. Aku tidak berpikir ini semudah itu. Semua ini sulit. Tidak hanya bagimu. Bagiku, bagi Anka, kita mengalami kesulitan. Namun, kita bisa saja membuat semua kesulitan ini menjadi mudah dengan kembali memperbaiki yang rusak, iya kan?"

"Karena Anka memintanya. Betul?"

Rigel tertunduk. Tidak ia sanggah, bahwa ia sedang berusaha keras untuk memenuhi keinginan Anka. Penyesalan Rigel begitu besar dan terlalu menekan dirinya sendiri, hingga ia ingin mengobatinya dengan memberi kebahagiaan terbaik untuk putra semata wayangnya itu. Sementara Aura yang tidak tertarik dengan arah pembicaraan Rigel, beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Namun, Rigel menahan tangan wanita itu, membuatnya berbalik dan mereka berbalas pandang. "Dengarkan alasanku, Aura."

Aura berdecak sambil memutar bola matanya malas. "Apa lagi? Kalau hanya untuk Anka, kita tidak perlu memaksa diri untuk kembali bersama tanpa ada rasa cinta. Aku bisa tetap menjadi ibu Anka, kamu juga tetap menjadi ayahnya. Kita hanya perlu saling bersikap baik pada satu sama lain di depan Anka. Selebihnya, tidak perlu memaksakan diri untuk saling mencintai lagi, Rigel. Aku tahu, kamu tidak lagi punya rasa yang sama seperti dulu dan sulit untuk berpura-pura menciptakan rasa itu lagi, iya kan?"

"Apa kamu masih mencintaiku?" Pertanyaan Rigel membuat Aura bungkam. Hati wanita itu berhasil dibuatnya berdetak kencang, tapi Aura tersenyum miring. Melepaskan tangannya dari genggaman Rigel yang sudah melonggar.

"Kalau kamu dapatkan jawaban, memangnya apa yang akan kamu lakukan?" balas Aura dengan tatapan menantang.

"Aku ingin kita memperbaiki semua, Ra." Sekali lagi, Rigel menyatakan permintaannya.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang