Lukisan Kedua Puluh Dua

741 107 12
                                    

[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dewa menghela napas setelah berhasil membuat Diksa dan Anka berada di satu ruangan, yaitu di ruang lukis. Ia menoleh pada Erin yang masih berdiri di depan gerbang rumah. Sengaja berjaga di sana jika saja Anka tiba-tiba ingin pulang.

"Dokter bisa pergi. Biar aku yang mengantarkan Anka kalau dia memang ingin pulang." Tutur Dewa, membuat hati Erin menjadi sedikit lega.

Setelah Erin pergi, Dewa masuk ke rumah, mengintip ke ruang lukis. Ingin menginterupsi, tapi sepertinya sedang terjadi percakapan serius hingga pria itu memutuskan untuk kembali ke dapur saja.

Sementara itu, Diksa duduk menatap lukisannya yang masih terpasang di sketsel. Membelakangi Anka yang duduk di kursi roda dalam diam. Hanya berani menatap punggung Diksa saja. Merasa terganggu dengan keheningan, akhirnya Diksa berdeham dan melirik pada Anka.

"Kenapa kamu datang sekarang?"

"Aku ... mau minta maaf, Diksa."

Diksa mendengus. "Sudah kumaafkan."

"Diksa, maafkan aku."

Diksa berdecak, lalu berbalik. "Kenapa masih diulang? Sudah kubilang kan kalau aku memaafkanmu. Kamu tidak mengerti?" omel Diksa, sedikit menyentak Anka.

Anka tertegun sambil mengeratkan genggamannya pada kotak segi empat yang ada di pangkuannya. Ia menunduk, tidak berani menerima tatapan garang Diksa.

Melihat reaksi Anka, Diksa menjadi merasa bersalah dan melemaskan bahu. "M-maaf. Aku tidak bermaksud untuk memarahimu. Aku hanya ..." Diksa membelalak saat melihat bahu Anka bergetar.

"Ka? Maaf, Ka. Aku tidak bermaksud membentak. Aku hanya ..." Diksa mengusap lengan Anka dan menunduk untuk melihat wajah temannya itu saat Anka mengangkat kepala dan malah memamerkan senyum jahil padanya.

"Kena!" seru Anka sambil terkekeh puas. Diksa menggeram sambil mengepalkan tangan. Ingin sekali mencubit pipi Anka, tapi ia harus menahan diri karena tidak ingin menyakiti pemuda di hadapannya itu. Namun, candaan Anka berhasil membuat rasa kesal Diksa sedikit mereda dan membuat suasana tegang di ruang lukis menjadi berkurang.

"Untuk apa kamu jauh-jauh datang ke sini? Aku sudah tidak marah padamu, jadi kamu tidak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang minta maaf karena berkata sembarangan tentangmu. Aku ..." Diksa mengembuskan napas sambil memejamkan mata sejenak. Bingung harus mengungkapkan isi hatinya dengan cara apa.

"Ini ..." Anka menyodorkan sebuah kotak yang ada di pangkuannya sedari tadi. "Aku ke sini untuk memberimu sesuatu."

Diksa membulatkan mata saat membuka hadiah yang diberikan Anka. "Seragam taekwondo?" tuturnya, sambil mengangkat tali pinggang berwarna putih, penanda kelas paling rendah dalam latihan taekwondo. "Ini untukku?"

Anka tersenyum lebar sambil mengangguk. "Aku sudah membawa formulir pendaftarannya juga. Kamu bisa membicarakannya dengan papamu untuk bergabung ke klub taekwondo sekolah. Aku sudah bilang pada ketuanya tentangmu. Mereka menunggu kedatanganmu di klub."

Diksa mengernyit bingung. Seumur hidup, ia tidak pernah mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan latihan fisik. Bermain bola tangkap saja Diksa tidak begitu mahir. Apalagi yang berhubungan dengan bela diri. "Ka, berlari satu putaran saja aku sudah mau pingsan. Bagaimana bisa aku diterima di klub ini?" tukasnya.

Anka mengembuskan napas tanpa melepas senyum lembutnya. "Aku sedang ingin berbagi hobi denganmu. Kamu suka melukis dan kamu mengajariku melukis. Aku suka taekwondo dan seharusnya aku pun mengajarimu taekwondo, tapi sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu." Senyum Anka memudar sesaat, tapi kemudian kembali lagi saat menatap Diksa.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang