Ayo teriakin nama Anka sama sama!
Viorankaaaaaaaaaaaaaa~
[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
..
.
.
.
.Anka mengetukkan telunjuk di penyangga tangan kursi rodanya. Ia termenung menghadap lapangan yang sepi. Tidak ada yang bermain di sana karena sedang gerimis. Jadi Anka hanya bisa terpaku melihat dari balik kaca di lorong rumah sakit. Membiarkan pikirannya melayang pada banyak hal yang ia dengar. Tentang ayah dan ibunya yang kembali bersama.
Hubungan Aura dan Rigel kembali berbunga.
Bunga kembali bermekaran di antara mantan pasangan
Akankah muncul undangan pernikahan kedua di akhir tahun ini?
Judul berita yang terpampang di televisi membuat perasaan Anka bercampur-aduk. Bahkan perawat yang bertugas memeriksa Anka juga membicarakan tentang hal itu. Anka sadar bahwa kedua orang tuanya memang berhasil menjadi bintang paling bersinar. Tidak satu pun orang yang luput dari pesona mereka berdua. Anka sendiri bingung, haruskah ia merasa bangga, atau biasa saja, atau malah seharusnya ia merasa kecewa. Sampai pemberitaan tentang kebersamaan mereka mencuat pun, tidak ada dari mereka berdua yang memunculkan diri di hadapan Anka. Setidaknya menyapa saja, sebagai orang asing pun tidak apa. Asal Anka bisa bertemu. Namun Anka sadar, itu hanyalah angan-angannya saja.
Anka masih termenung, memandangi rinti yang membasahi lapisan semen di lapangan. Matanya berkedip beberapa kali dan hujan turun lebih deras. Ia menggerakkan kursi roda menuju kamar. Tidak akan ada kunjungan dari siapa pun hari ini karena ia sedang tidak ingin diganggu. Begitu pesannya pada Diksa setelah ditunggui sampai pagi oleh sahabatnya itu. Terdengar seperti tidak tahu terima kasih, tapi hati Anka sedang tidak baik.
Anka menarik jaket di lemari kamar rawatnya. Tidak ada pakaian yang bisa ia kenakan untuk mengganti seragam rumah sakit yang culun ini. Dengan jaket, setidaknya Anka bisa terlihat lebih santai dan tidak mencurigakan. Anka menjalankan niatnya untuk berjalan-jalan sejenak. Bosan berkeliaran di rumah sakit yang hanya menampilkan tempat yang itu-itu saja. Ia ingin mencoba berjalan-jalan dengan kursi roda sendirian.
Tidak ada yang terlalu curiga dengan gerak-gerik Anka yang tubuhnya tertutup hoodie hitam. Ia juga sudah menutupi bagian paha hingga kakinya dengan selimut merah kotak-kotak yang tadi ia temukan di lemari.
Hujan mulai mereda, tapi rintiknya masih membuat basah. Namun Anka tidak mengurungkan niatnya sedikit pun. Ia menggerakkan kursi rodanya, ke luar area rumah sakit menuju trotoar. Ia terus bergerak dengan cepat, tidak ingin ditemukan oleh perawat yang mungkin mengenalinya. Anka mengikuti pergerakan orang-orang yang berlari kecil atau tetap berjalan santai meski di serang titik-titik air dari langit.
Anka berhenti bersama pejalan kaki lain di samping tiang lampu lalu lintas. Semua orang menunggu lampu merah untuk kendaraan menyala. Pikirannya kembali melayang saat menunggu giliran menyeberang. Kali ini ia teringat percakapan Diksa dan Dewa saat dirinya terbangun di kamar Diksa. Pintu kamar Diksa sengaja tidak ditutup supaya Dewa bisa memantau keadaan Anka dengan lebih mudah.
"Aku tersiksa."
Kata-kata yang terlontar dari mulut Diksa waktu itu terdengar dan terpatri jelas di pikiran Anka. Ia berkesimpulan bahwa dirinya ternyata membawa beban, tidak hanya bagi orang tuanya sendiri, tapi juga bagi orang lain. Anka benar-benar merasa bersalah. Ia tidak menyangka bahwa Diksa akan merasakan hal menyakitkan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Jingga Di Angkasa
General FictionJika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pilihan.