Halo, maminya Anka baru membaik dari sakit yang menyerang selama tiga hari ini.
Enjoy~[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
..
.
.
.
.Diksa memainkan kukunya sendiri sambil menunduk. Sementara Anka sedari tadi memandanginya dengan heran. "Eh, mau berapa lama diam begitu, Sa?" tanya Anka yang napasnya sedikit terengah. Selang oksigen terhubung dan menempel di hidungnya, tapi Anka tampak tidak terganggu sama sekali dan dengan santainya duduk sambil memandangi Diksa yang seperti sedang dimarahi guru konseling.
"Jangan ajak bicara dulu, Ka. Aku sedang berpikir karena merasa bersalah sekarang." Jawab Diksa tanpa menoleh. Anka berdecak sambil memutar bola matanya malas.
"Berpikir untuk apa? Tidak usah diambil hati apa yang dikatakan Paman Kennard. Aku sakit kan bukan karena latihan taekwondo yang kita lakukan kemarin saja. Aku sakit bahkan sebelum-sebelum itu juga. Kamu juga menyaksikan sendiri apa yang kualami kan? Semua gejala itu datang bahkan sebelum kamu mengajari aku melukis. Ya kan? Berarti ini bukan karenamu. Sudah tidak usah dipikirkan lagi."
Tetap saja, Diksa merasa bersalah. Dimarahi oleh Kennard saat ia menelepon Erin melalui ponsel Anka menjadi trauma tersendiri untuk Diksa. Ia khawatir dengan keadaan Anka tentunya dan ia juga merasa bersalah sekali karena ia yang meminta Anka untuk mengajarinya taekwondo. Siapa sangka jika gejala puncak yang Anka alami terjadi saat mereka sedang berlatih taekwondo. Diksa menjadi sasaran empuk untuk disalahkan oleh Kennard.
"Paman Kennard memang menyebalkan ya." Keluh Anka sambil melipat tangan di depan dada. Diksa memandang Anka, masih dengan perasaan yang serba salah. Tentu saja ia ingin sekali berada bersama Anka sekarang, tapi di sisi lain ia juga tidak sabar menunggu ayahnya menjemput. Takut sekali jika Kennard masuk ke kamar Anka dan menyalahkannya lagi, seperti saat Diksa membawa Anka ke rumah sakit setelah nyeri sendi luar biasa yang dialami Anka setelah menunjukkan salah satu teknik memukul.
"Bukannya berterima kasih karena aku sudah diselamatkan, malah marah-marah padamu." Anka merengut, sementara Diksa memperhatikan temannya itu dengan wajah memelas. Masih menyimpan rasa bersalah di hati.
"Seharusnya aku menyadari kalau keadaanmu kurang baik. Harusnya aku tidak memintamu untuk mengajariku taekwondo. Harusnya aku menyuruhmu istirahat saja." Gumam Diksa sambil menunduk. Anka berdecak. Kesal sekali hatinya melihat Diksa seperti ini. Seperti bukan Diksa si optimis dan ceria yang ia kenal. Perubahan Diksa ini disebabkan oleh Kennard yang mencaci Diksa dan itu membuat Anka benar-benar marah dengan pamannya.
"Kalau tidak berhenti menyalahkan diri sendiri, lebih baik kita tidak usah jadi teman lagi saja, Sa."
Diksa membelalak. "Apa maksudmu?"
"Aku serius. Kalau kamu mau terus-terusan berkata 'harusnya', aku benar-benar tidak ingin bertemu kamu lagi."
"Hei, Ka. Keputusanmu itu sepihak!"
"Memang sepihak. Itu karena kamu juga tidak bisa diajak kompromi dengan terus bersikap seolah kamu itu salah. Jadi, aku sakit karena salahmu? Aku begini karena salahmu? Kamu menyetujui pernyataan Paman Kennard yang bilang kamu penyebab aku sakit? Kamu tidak mau membela diri dan tenggelam dalam rasa bersalah?"
Anka mengatur napasnya yang terengah-engah karena mengomel. Ia benar-benar kesal. "Kalau terus begitu, lebih baik aku tidak berteman denganmu. Aku malas berteman dengan orang yang tidak tahu bagaimana membela dirinya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Jingga Di Angkasa
Genel KurguJika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pilihan.