Lukisan Kedua Puluh

680 129 32
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Apa yang membuat kalian masih mau membaca ini?

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Diksa membawa sebuah buket yang berbeda dari buket biasanya. Ia sudah mempersiapkan banyak hal sebelum menginjakkan kaki di tempat yang sudah lama ingin ia datangi. Beberapa hari sudah papanya mencegah Diksa untuk menjenguk Anka, dan akhirnya ia ada di sini. Dengan sang papa mendampingi. Diksa berdiri di depan pintu kamar rawat Anka dengan gugup. Sang papa memberikan isyarat pemberi semangat dan memilih untuk duduk di kursi lorong.

Setelah mengetuk beberapa kali, Diksa masuk dengan hati berdegup dan semangat. Sudah tidak sabar bercengkerama dan bercanda dengan teman yang sudah lama tak ia temui. Memang hanya seminggu, tapi bagi Diksa terasa seperti berbulan-bulan.

Dilihatnya Anka sedang berbaring miring, membelakangi dirinya. Ia mempertahankan senyum agar suasana yang ia ciptakan nanti pun menjadi lebih baik. "Eum ... Anka ... Aku datang. Lihat ini. Aku membawa sesuatu. Kamu pasti akan terkejut dan ..."

"Untuk apa kamu datang?"

Senyum Diksa memudar seketika dengan serangan itu. Tadinya ia ingin melangkah maju, tapi urung dan terpaku pada tempatnya berdiri. "A-aku ... hanya ingin menjengukmu. Sudah lama sekali sejak kita bermain bersama. Sekolah sudah mulai dan kamu tidak datang ke sekolah jadi ..."

"Sudah kubilang kan jangan dekati aku lagi, Sa. Kamu tidak paham?"

Diksa mengeraskan rahang dan mengeratkan genggamannya pada buket yang ia pegang. "Tidak. Aku tidak paham dan tidak mau paham. Aku tidak paham alasan kamu melarangku untuk menemuimu, tapi aku tidak peduli. Aku akan tetap menemuimu. Aku akan tetap menganggapku temanku. Apa kamu bisa paham itu?"

Anka berbalik, lalu memposisikan diri untuk duduk meski infus dan selang oksigen masih ia kenakan. "Kamu keras kepala sekali. Kamu mau tahu alasanku?"

Anka menunjuk kursi roda. "Aku tidak akan bisa berlari lagi. Bahkan aku tidak akan bisa berjalan lagi tanpa benda itu. Aku tidak bisa memberikanmu kesan baik lagi karena aku tidak bisa berlatih taekwondo lagi, dan lihat ini ..." Anka menunjuk selang oksigen, lalu selang infus. " ... aku tidak bisa hidup tanpa kedua hal ini. Aku akan terus menerus menggunakan ini. Hanya bisa terlepas beberapa saat, tapi aku tidak akan bisa bergerak sebebas dulu. Aku tidak bisa menjadi siswa popular lagi di sekolah. Aku sudah menjadi pecundang, Sa. Apa kamu mau berteman dengan seorang pecundang?"

"Iya. Aku mau berteman dengan seorang pecundang. Apa ada yang salah dengan hal itu? Kamu menjadi terkenal, popular, pengecut, atau pecundang, apa aku harus menjauhimu? Kalau semua alasan untuk menjauhimu sudah kamu sebutkan, giliran aku yang menyebutkan alasanku." Diksa berdeham. "Aku tetap mau menjadi teman seorang Vioranka karena ... tidak alasan. Aku hanya ingin menjadi seorang teman dari manusia lain. Itu salah, Anka?"

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang