Nanti aja ya marahin mami. Sekarang, baca aja dulu ya~
[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
..
.
.
.
.Anka yang kebosanan berada di dalam ruang rawat sepanjang hari, memutuskan untuk ke luar kamar sendirian. Tidak peduli dengan pesan Erin yang mengatakan bahwa Anka tidak boleh ke mana-mana sampai jadwal pemeriksaan selanjutnya. Anka bosan dan ia tidak kuat lagi hanya menunggu di kamar.
Anka mengangkat kakinya yang terasa lebih berat ke luar kamar. Dengan berpegangan pada dinding koridor, ia berusaha menarik kakinya agar berjalan lebih cepat. Sesekali ia menggerutu karena merasa langkahnya terlalu lambat. Setidaknya ia harus menjauhi area kamar rawat untuk menghindari Erin yang bisa saja berkeliaran di sekitar sana.
Akhirnya Anka sampai di dekat kafetaria. Di sana jauh lebih aman karena masih pukul sepuluh. Belum waktunya makan siang, jadi masih sepi. Hanya beberapa orang yang sepertinya adalah keluarga pasien atau perawat-perawat yang sedang istirahat sebentar.
Anka merogoh saku seragam rumah sakitnya. Tidak ada uang atau dompet yang ia bawa. Hanya ponselnya yang ia selipkan di saku baju rumah sakitnya. Remaja itu menepuk dahi, mengutuk karena kebodohannya yang tidak membawa uang sepeser pun. Meski tidak begitu lapar, tapi beberapa camilan seperti, croissant atau short cake di etalase membuatnya ingin makan.
Anka berbalik dan berganti haluan. Ia ingin ke taman belakang rumah sakit. Setidaknya di sana ia bisa melihat-lihat sambil menunggu Diksa yang akan menemuinya. Namun, langkah Anka semakin memberat. Kakinya terasa kebas hingga ia hampir tersungkur ke lantai jika tidak ada seseorang menangkap tangannya dari belakang.
"Kamu tidak apa-apa? Pelan-pelan jalannya." Tutur seorang wanita dengan topi putih dan masker hitam menutupi wajah.
Anka mengerjap. Ia pun terkejut dan butuh beberapa detik untuk memahami situasi. Wanita itu membantu Anka berdiri. Namun saat melepaskan pegangan dari tangan Anka, si remaja limbung lagi dan membuat wanita itu terpaksa memegangi Anka lagi. "Kamu tidak bawa kruk atau kursi roda?" tanya wanita itu, yang hanya dibalas dengan gelengan pelan Anka. Anka juga bingung mengapa kakinya tidak bisa diajak kompromi hari ini. Kaki Anka memang terlihat lebih bengkak dari biasanya, tapi bagi Anka seharusnya itu tidak menjadi masalah besar. Ia masih bisa berjalan normal beberapa hari yang lalu.
"Kamu mau ke mana? Biar aku antar." Tawar sang wanita.
"Eh? Tidak usah, Bi. Tidak apa-apa. Aku cuma mau ke taman saja. Aku bisa sendiri kok. Kakiku ini ..." Anka menepuk-nepuk pahanya dengan keras sambil tertawa kikuk. " ... kadang-kadang bertingkah. Jadi, tidak perlu khawatir. Kurasa Bibi sibuk. Aku bisa berpegangan pada pinggiran koridor." Jawab Anka, sambil memasang senyum sendu.
Meski memakai masker, terdengar jelas embusan napas dari baliknya. "Sudahlah. Ayo sini, Bibi antarkan. Siapa namamu?" Wanita itu bersikeras dan mulai melangkah pelan sambil memapah Anka. Anka pun tidak bisa membantah karena jujur saja, ia sendiri kesulitan berjalan jika tidak dibantu.
"Anka. Vioranka. Aku dari bangsal Rose. Bibi juga pasien?"
Tidak ada jawaban karena wanita itu berhenti sejenak sambil memandangi Anka. Anka pun mengernyit heran. "Bi? Halo?" Anka melambaikan tangannya di depan wajah sang wanita.
Wanita itu menggeleng cepat. Senyum tipisnya tidak terlihat karena tertutup oleh masker, tapi bisa terlihat dari kerutan matanya. "Anka ya? Seperti pernah dengar."
Anka terkekeh pelan. "Anka adalah bintang tercerah di rasi Phoenix. Bibi suka cerita tentang rasi bintang tidak?"
Sang wanita menggeleng pelan. "Kata pamanku, nama itu dipilihkan supaya kehidupanku bisa secerah bintang itu." Sambung Anka dengan senyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Jingga Di Angkasa
General FictionJika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pilihan.