Lukisan Kedua Puluh Empat

676 104 26
                                    

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kennard tak berhenti menggigit bibirnya sembari menunggu Erin keluar dari salah satu kamar rawat. Tidak hanya Kennard yang menunggu dengan hati gelisah. Aura dan Anka juga berada di sampingnya, saling menguatkan dengan menggenggam tangan satu sama lain. Di acara paling penting, Rigel menciptakan kehebohan yang membuat publik bertanya-tanya penuh cemas karena dirinya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, tepat sebelum ia mengumumkan pada dunia bahwa ia adalah ayah dari seorang pemuda yang sedang menangisinya sekarang.

"Ayah kenapa, Bu? Apa karena ada aku di acara kalian?"

"Shh ... shh ... tidak boleh bicara seperti itu. Ayahmu tidak mengatakan apa pun dan tiba-tiba menjadi pingsan. Tidak ada yang salah di sini. Kita harus menunggu sampai bibimu keluar ya," tutur Aura sambil mengusap bahu Anka yang gemetaran.

Erin membuka pintu kamar rawat, membuat Kennard beranjak dan langsung mendesak penjelasan hanya melalui tatapannya. Aura memandangi Kennard, Aura, dan Anka bergantian. Kemudian menghela napas panjang. "Ini benar-benar tidak bisa diprediksi, Ken. Kak Rigel harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut agar ..." Erin menjelaskan dengan singkat situasi yang sedang mereka hadapi. Kennard mengembuskan napas frustrasi, membuat Anka dan Aura pun juga tertular perasaan gelisah itu.

Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain menunggu hasil. Hingga dua hari setelah tak sadarkan diri, belum ada kejelasan tentang kondisi Rigel. Diksa berusaha lebih keras untuk menghibur Anka yang perasaannya memburuk, seiring dengan tubuhnya yang juga melemah karena dipengaruhi stres.

"Makan tidak?"

"Tidak."

"Kalau tidak makan, aku pulang."

"Pulang saja."

"Vioranka!"

"Aku tidak mau makan, Diksa! Aku tidak lapar."

"Pikiranmu yang membuat perutmu tak terasa perih karena lapar. Padahal, tubuhmu itu sudah kekurangan asupan untuk menghasilkan energi. Aku tahu kamu khawatir, cemas, dan gelisah, tapi jangan seperti ini, Ka. Kamu harus menjaga kondisimu sendiri supaya bisa tahu bagaimana perkembangan kondisi ayahmu, kan? Kalau ayahmu sadar saat kamu sedang tidak baik, bukankah itu akan mengecewakan ayahmu?"

Anka merengut sebal, tapi tidak membantah omelan Diksa. Ia masih menggeleng saat Diksa menyodorkan sesendok bubur. Masih bersikeras untuk tidak memasukkan makanan apa pun ke mulutnya, hingga Diksa meletakkan mangkuk ke atas meja lipat dengan kesal. "Sudahlah. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Kamu memang keras kepala. Tidak ada yang bisa melunakkannya. Aku tidak tahu sampai kapan akan terus begini. Mungkin nanti kamu mau koma lagi dan tidak bisa menyambut ayahmu yang sadar sebentar lagi."

Anka mendengus mendengar ucapan Diksa yang menurutnya tidak sopan. Namun Diksa tampaknya tak peduli mendapatkan rengutan Anka yang menurutnya malah menggemaskan itu. Diksa terus berupaya membuat Anka mengunyah sesuap saja makanan yang ia sodorkan hingga Kennard masuk ke dalam ruang rawatnya dengan sapaan ramah pada dua pemuda itu. Diksa adalah pemuda yang sangat peka dan menyadari bahwa dirinya perlu ke luar dari sana, membiarkan Kennard memiliki ruang untuk berdua saja dengan Anka.

"Ka, ayah sudah membaik. Tadi sudah sadar," tutur Kennard, membuat Anka langsung menegakkan bahu, sambil menurunkan kakinya dari kasur. Bersiap turun, tapi dicegah oleh sang paman.

"Kok tidak beritahu aku? Aku mau ke tempat ayah sekarang."

"Shh ... belum boleh, Ka. Meski sudah sadar, ayahmu masih harus melakukan banyak sekali pemeriksaan. Kita akan menemuinya setelah semua beres." Mata Kennard mengarah pada mangkuk yang masih penuh dengan bubur. "Belum makan ya?" tanyanya pada Anka.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang