Lukisan Kedelapan Belas

683 123 26
                                    

Ini baru beneran malam minggu ya hehe
Siapin tisu dulu mungkin. Kalo kalian gak begitu melankolis, gak ada tisu juga gak apa-apa. Bisa pake ujung selimut buat ngelap ingus kalo terharu baca bagian ini
Huhu

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Erin masuk ke sebuah ruang tunggu di rumah sakit, membuat dua orang yang tadinya duduk dalam gelisah berdiri dan menatap Erin penuh harap. "Bagaimana, Rin?"

Erin menyuruh dua orang itu duduk. Sandi memilih untuk keluar dari ruangan, membiarkan Aura berdua dengan Erin. Keduanya duduk berhadapan, dengan Aura yang tidak melepaskan tatapan penuh tanya pada sang dokter. Erin mengembuskan napas. Prihatin melihat tampilan Aura yang semrawut. Rambutnya tergerai begitu saja. Tubuhnya hanya dibalut sweatshirt lengan panjang longgar dan jeans dengan warna kusam. Tidak ada kacamata hitam atau maske yang menutupi wajahnya. Aura sudah tidak mempedulika penampilannya lagi.

Saat mendengar berita tentang Rigel, Aura jatuh pingsan. Terbangun dalam keadaan panik dan bertanya tanpa henti tentang keadaan Rigel. Sandi hanya bisa membawa Aura ke rumah untuk menenangkan diri, tapi Aura mendesak untuk pergi ke rumah sakit.

"Dinyatakan koma, Kak." Tutur Erin, penuh penyesalan. Seketika tangisan Aura pecah. Hatinya menjadi sakit sekali mendengar penuturan Erin. Sekuat tenaga ia menyimpan perasaannya bertahun-tahun. Berusaha melenyapkan rasa apapun yang tertinggal untuk Rigel. Namun nyatanya, kejadian ini membuktikan bahwa Aura tidak pernah menang melawan perasaannya sendiri. Ia masih mencintai Rigel dan tidak ingin kehilangan pria itu.

Sekesal apapun Erin pada Aura, ia tetap tidak sampai hati melihat kesedihan sang model cantik itu. Menjelaskan tentang Rigel saja sudah membuat Aura terpukul. Apalagi menjelaskan tentang Anka. "Berita baiknya, Anka sudah boleh ditemui, Kak."

Tangis Aura mereda. Ada sedikit binar bahagia dari matanya saat mendengar nama putranya. "Benarkah? Aku boleh menemuinya?"

Erin mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia mengajak Aura menuju ruang rawat Anka. Anak itu sudah dipindahkan sejak beberapa jam setelah dirawat di ICU. Kondisinya mulai stabil, meski harus tetap mengenakan masker oksigen.

Dengan langkah pelan, Aura mendekati ranjang putra yang selama ini tak pernah ia sapa. Mata Anka masih terpejam. Membuat Aura tergoda untuk menyentuh wajah pemuda kecilnya. Namun tangan itu tertarik kembali. Urung menyalurkan hangat pada pipi Anka. Aura malah menutup mulut, mencegah isak yang hampir terdengar saat ia memandangi wajah Anka yang pucat. Air mata Aura menitik, menyentuh punggung tangan Anka dan membuat anak itu terbangun.

Perlahan, Anka membuka mata dan membenahi fokus matanya. Berhasil menangkap sosok yang selama ini hanya ada dalam angan-angannya.

Mimpi. Ini hanya mimpi.

Batin Anka sambil tersenyum tipis sekali. Lalu ia memutuskan untuk menutup matanya rapat-rapat, lalu membukanya kembali. Berharap ia sudah berada di dunia nyata lagi. Namun, sosok itu masih ada. Tidak menghilang.

Bukan mimpi? Tidak mungkin.

Pikir Anka lagi. Sekeras apapun ia mencoba menggelengkan kepala, membuka-tutup matanya untuk memastikan, Aura tetap ada di hadapannya. Menatapnya dengan wajah sendu penuh tangisan.

"Anka ..."

"Kamu tahu namaku?" tanya Anka, mengagetkan Aura sedikit. Aura merasa betul-betul asing di depan Anka. "Kenapa ada di sini?" lirih Anka.

"Tentu saja aku tahu namamu. Aku ini ..."

"Ah iya ..." Anka memejamkan mata, sedikit kesulitan mengatur napasnya yang sedikit sesak. Kemudian, ia melanjutkan kalimatnya kembali, " ... kamu model terkenal itu kan? Aura Briani Benar kan?"

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang