Lukisan Kedua Belas

778 135 22
                                    

Banyak makan karbo jadinya jari-jari bertenaga buat ngetik naskah :")
Tapi, masih raw ya. Belum edit. Jadi kalau ada salah, mohon maafkan.

Enjoy and I love you

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Diksa tidak melepas pandangannya dari Anka yang berba  g membelakanginya. Masih terlihat bahu Anka yang bergetar setelah menangis tidak karuan saat dijelaskan sesuatu oleh Erin. Diksa tidak tahu karena saat ia masuk ke ruang rawat, Erin sudah berbalik menuju pintu.

"Hei, Ka. Aku sudah di sini loh. Mau aku pulang saja ya?"

"Jangan!" seru Anka, hampir membalik badan, tapi teringat jika ia baru saja menangis. Diksa mengembuskan napas pasrah. "Lalu, mau sampai kapan kamu begitu? Untuk apa aku ke sini kalau kamu tidak mau lihat aku? Ah, sudahlah. Aku pulang saja."

"Kubilang, jangan!" teriak Anka lebih keras, tapi kali ini ia membalik tubuh dan memandang Diksa dengan mata sembab. Bibir Anka masih bergetar. Sisa-sisa tangisannya tadi tidak bisa ditutupi karena sudah terlanjur dilihat Diksa. Diksa duduk kembali dan tersenyum. "Malu karena menangis?" tanya Diksa pelan.

"Tidak malu."

"Lalu?"

"Aku marah." sahut Anka, dengan bibir yang mengerucut dan mata yang berkedip-kedip, menahan air mata yang masih akan jatuh.

"Memang aku membuat kesalahan?" tanya Diksa.

"Bukan kamu. Bibi Erin yang buat aku marah."

"Oh ..." Diksa mengangguk-angguk. "Apa yang Bibi Erin lakukan?"

Masih dengan suara yang bergetar, Anka menceritakan apa yang Erin katakan. Raut wajah Diksa terlihat tenang, tidak terkejut, tidak pula terlihat acuh. Ia mengangguk, menyimak betul apa yang Anka ucapkan di sela-sela isaknya yang muncul lagi.

"Bagaimana ini, Diksa? Nanti kalau aku tidak bisa jalan, ayah akan membenciku." Ujar Anka dengan air mata yang mengalir di pipi. Diksa menepuk pelan lengan Diksa, berniat menenangkan. Kemudian, ia melirik kaki Anka yang tertutup selimut. Hatinya juga sedih mendengar apa yang diceritakan Anka. Siapa yang tidak tertekan jika diberitahu bahwa kakinya tidak bisa berjalan? Meski untuk sementara waktu, pasti tetap berat. Apalagi jika kelumpuhan itu bersifat permanen.

"Memang ayahmu sudah bilang kalau tidak suka punya anak yang tidak bisa jalan?" Pertanyaan Diksa selalu bisa menohok Anka. Dengan pipi menggembung, ia menjawab, "Menghabiskan waktu denganku saat aku normal saja tidak pernah. Apalagi kalau aku tidak bisa berjalan. Dia akan semakin tidak menganggapku ada."

Diksa berdecak sambil melambaikan tangan di depan wajah Anka. "Membuat prediksi sendiri." Ujarnya. Diksa bergerak mundur sedikit agar bisa lebih dekat dengan kaki Anka. Ia memijat pelan kaki Anka. "Tidak terasa?" tanya Diksa. Anka menggeleng. Diksa tetap memijat kaki Anka dengan sangat lembut. Tidak peduli Anka merasakan pijatan itu atau tidak.

"Aku tetap memijatmu meski kamu bilang tidak merasakan apa-apa." Diksa memandang Anka sambil mengulas senyum yang sangat tipis. "Sama seperti perasaan ayahmu. Dia akan tetap menganggapmu anak, meski kamu tidak bisa merasakan kaki, tangan, atau sekujur tubuhmu."

Anka menghela napas panjang. "Tidak begitu, Sa. Ayahku adalah orang yang berbeda."

"Eum. Iya, benar. Semua ayah berbeda. Cara mereka merawat anak-anak mereka. Cara mereka mencari uang untuk menghidupi keluarga. Cara mereka mengungkapkan amarah atau kasih sayang pada anak-anak mereka. Semua berbeda. Bahkan setiap ayah punya pemikiran yang berbeda dalam pemberian nama. Papaku memberiku nama Diksa. Ayahmu memberimu nama Anka." Diksa mengedikkan bahu. "Berbeda kan?"

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang