Lukisan Keempat Belas

731 125 8
                                    

Selamat berakhir pekan~
Yang kangen Papa Dewa, tunjuk hidung~

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Kennard kembali ke rumahnya dengan wajah lesu. Erin yang sudah berada di rumah lebih dulu menyambut sang kekasih dengan sapaan lembut. Dokter wanita itu sedang mengambil cuti selama beberapa hari agar bisa mengawasi kondisi Anka yang sengaja dirawat di rumah. Perawat yang ditugaskan sedang cuti juga, jadi Erin harus turun tangan, meski tidak bisa setiap waktu. Di waktu seperti ini, Erin pun harus mengurus Kennard yang selama ini tinggal sendirian. Sebentar lagi keduanya akan menjadi suami-istri dan sudah seharusnya Erin mulai membiasakan diri untuk memerankan peran barunya nanti.

"Tidak datang lagi?" tanyanya pada Kennard yang melonggarkan dasi sambil bersandar di sofa. Pria itu hanya bergumam pelan, memejamkan mata untuk meredakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Erin duduk di samping sang kekasih, memijat bahu Kennard dengan lembut.

"Kalau terlalu sakit, kamu harus minum obat pereda nyeri. Mau kuambilkan?" tawar Erin, tapi dijawab dengan gelengan singkat saat ia hendak berdiri. Kennard menahan tangan Erin, memintanya untuk duduk kembali. Ia menatap wajah kekasihnya dalam-dalam. Tanpa perlu kata-kata, Erin membuka lengan dan memeluk Kennard. Pria itu terlihat sangat lelah. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Erin. Wangi tubuh Erin yang selalu segar membuatnya sedikit tenang. Apalagi Erin mengusap pelan punggung Kennard.

"Aku ingin membawa Anka pergi jauh saja, Rin. Kita pindah ke luar negeri. Memulai hidup baru. Kita akan berikan perawatan terbaik untuk Anka. Membuatnya bisa tetap menjalani kehidupan normal meski berdampingan dengan penyakitnya. Bisa begitu kan seharusnya, Rin?"

Erin menghela napas panjang. Ia tahu Kennard sering melewati hari yang melelahkan dan mungkin kekasihnya itu ingin saja menyerah. Bisa saja mereka membawa Anka pergi tanpa pertimbangan. Menjauhkan Anka dengan ayah kandungnya. Namun semua tidak semudah itu. Anka bisa berkata bahwa ia tidak ingin menjadi anak dari Rigel, tapi hati Anka tetap akan mengharap Rigel menjemput dan memeluknya.

"Rin, kita menikah dan kamu pensiun dini saja." Kennard melepas pelukan dan Erin. Wanita itu mengernyit. Ia tahu Kennard hanya meluapkan kebingungannya dan berkata asal.

"Kita menikah dan membawa pergi Anka jauh-jauh dari sini. Kamu akan di rumah, bersama Anka. Mengurusnya. Sepakat?" tanya Kennard penuh harap. Erin mengembuskan napas dan menatap sendu pada pria yang ia cintai.

"Kennard, semua yang kita rencanakan tidak bisa dilakukan semudah itu. Ada sesuatu yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja di sini. Aku adalah seorang dokter dan aku masih dibutuhkan. Anka juga butuh waktu untuk menenangkan diri. Sekarang, kondisinya sangat tidak stabil, Ken. Itu bisa jadi menghambat proses peredaan sakit yang dia alami. Orang dengan Lupus tidak bisa sembuh total, Sayang. Kita hanya menekan gejalanya. Karena itu, Anka perlu menenangkan pikiran agar tubuhnya pun ikut tenang dan lebih mudah mengurangi gejala-gejala itu. Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, Ken. Kita harus memikirkan Anka juga. Ini bukan soal kamu mampu atau tidak untuk mengurus Anka. Ini adalah soal tanggung jawab kakakmu, tanggung jawab kita, untuk membuat Anka terus bertahan dan optimis menghadapi semua ini. Bahkan untuk menjelaskan tentang penyakitnya saja, kita belum berani. Yang dia tahu, tubuhnya terlalu lemah dan kakinya tidak bisa berjalan tiba-tiba. Hal-hal itu saja sudah membuatnya shock. Kita harus pelan-pelan. Emosi Anka tidak stabil. Jangan buat emosimu tidak stabil juga, sayang."

Kennard terdiam atas penjelasan Erin. Wanitanya berhasil menyadarkan bahwa semua ini bukan hanya tentang perasaan Kennard saja. Ini semua menyangkut Anka, Rigel, dan semua yang terlibat dalam lingkar kehidupan remaja malang itu.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang