Lukisan Keenam

918 162 21
                                    

Maaf ya, 'mami'nya Anka baru aja pindahin ini ke work.

Selamat menikmati hidangan.

[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Seperti biasanya, Erin membuka layar komputernya setelah selesai melayani konsultasi dengan pasien. "Ada yang diperlukan lagi, Dok?" tanya seorang perawat sebelum meninggalkan ruangan Erin.

"Belum ada, Sus. Kamu boleh pergi dulu." Sahut Erin sambil tersenyum tipis, mengantarkan perawat wanita itu keluar dari ruangannya.

Erin kembali meniti layar komputernya. Menelaan setiap kata dari data yang terpampang di layar. Sepertinya ia berpikir terlalu keras hingga lama-kelamaan ia berdecak, lalu memijat pelan pelipisnya. Erin memutuskan untuk menghubungi sang kekasih, yang kemungkinan masih sibuk dengan urusannya. Namun Erin mengabaikan hal itu. Ia perlu bicara sekarang.

"Ken, sudah bisa bicara kan?"

[Untunglah acaranya selesai lebih cepat. Jadi aku sudah luang sekarang. Ada apa, sayang?]

"Kapan kamu pulang?"

[Besok sudah pulang. Ada hal buruk yang terjadi?]

Erin terkekeh pelan. "Setiap kali aku bertanya begitu, apakah artinya hal buruk harus terjadi, Ken?"

[Haha. Tidak begitu. Aku hanya menduga. Sepertinya dugaanku salah total.]

Senyum Erin memudar perlahan. "Sebenarnya, tidak ada hal buruk, tapi kurasa aku perlu memberitahumu sesuatu. Ini penting sekali dan aku mau menjelaskannya saat kamu pulang nanti."

[Rin, jangan membuatku takut begitu.]

Sekali lagi, Erin dibuat tertawa dengan nada Kennard yang benar-benar terdengar cemas. "Kamu ini benar-benar orang yang terlalu penuh dengan kecemasan. Tenanglah, sayang. Tidak ada yang mengerikan terjadi. Yang penting kamu cepat pulang ya. Aku mencintaimu. Oh iya, omong-omong, kalau kamu pulang lebih cepat dari perkiraan dan tidak melihat Anka di rumah, itu artinya Anka masih menginap di rumah temannya ya."

[Di rumah teman? Dia tidak meminta izin padaku. Siapa yang mengizi ...]

KLIK

Tanpa basa-basi, Erin menutup sambungan teleponnnya. Ia tahu Kennard akan mengomel dan ia tidak ingin memenuhi telinganya dengan omelan itu. Erin berpikir kembali untuk menelaah data yang ia lihat. Untuk sekarang, ia hanya bisa berharap jika apa yang ia duga tidak benar-benar akan terjadi.

***

Anka baru saja keluar dari kamar mandi dengan berpakaian kaos dan celana jeans yang dipinjami Diksa. Ia memegang handuknya di depan dada dengan tangan yang bergetar hebat hingga menarik perhatian Diksa yang sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya.

"Ka, kamu kedinginan? Kok menggigil begitu?" tanya Diksa heran, karena pagi itu cuaca sangat cerah. Dewa selalu menyuruh Diksa untuk membuka jendela pagi-pagi sekali, membiarkan cahaya matahari masuk dan udara pagi bisa memenuhi ruang-ruang dalam rumah mereka sehingga tidak terasa pengap.

Anka tercengir, dengan bibir yang sedikit gemetar juga. "Ti-tidak terlalu ke-kedinginan, tapi ... ku-kurasa air di-di rumahmu memang di-dingin." Jawabnya terbata karena menggigil. Cepat-cepat Diksa mendekati Anka, lalu memegang tangan temannya itu. Dingin sekali. Bahkan jari-jari Anka membiru.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang