Lukisan Kelima

1K 168 24
                                    

[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Anka bersenandung dengan suara kecil di mobil Erin. Mereka baru saja mengantar Kennard ke bandara. Ada pertemuan kepala cabang kantor asuransi dan Kennard harus hadir. Anka harus rela ditinggal sendiri di rumah. Namun ia tidak terlalu memusingkan hal itu karena kini sudah ada Diksa yang bisa menjadi tempat pelariannya. Apalagi papa Diksa juga sangat terbuka dengan kehadiran Anka.

Saat berhenti di lampu merah, Erin melirik pada lengan Anka yang kelihatan merah. “Ka, tangan kamu gatal ya?” tanya Erin sambil mengusap bagian lengan Anka yang merah itu. Terasa kulit Anka berparut.
Anka mengangguk. “Aku garuk sedikit. Gatalnya sih tidak hilang. Malah jadi seperti ini, Bi.” Ujarnya, memamerkan bagian lain yang gatal dan berparut.

Erin memperhatikan tangan Anka, banyak ruam merah. “Perih, Ka?” tanya Erin.
Anka menggeleng. “Tidak terlalu sih. Kadang, terasa perih. Apalagi kalau terkena cahaya matahari. Rasanya gatal sekali.”
Penjelasan tersebut cukup untuk membuat Erin berpikir dan menduga. Namun, ia kembali fokus pada mobilnya yang harus tetap jalan karena lampu lalu lintas sudah berganti menjadi hijau. Setelah sampai di depan sebuah rumah kecil, Erin memberikan pesan sebelum membiarkan Anka turun. “Nanti telepon Bibi kalau sudah mau pulang.” Tuturnya.

“Sepertinya tidak pulang, Bi. Menginap di sini saja.” Jawab Anka santai.

“Sudah izin dengan papanya temanmu?”  Anka mengangguk. Yang Erin pentingkan malah izin dari papa Diksa. Jika tentang Kennard, Erin saja yang akan bilang, karena Kennard pasti tidak akan mengizinkan begitu saja. Banyak saja alasannya untuk tidak membiarkan keponakannya berlama-lama di luar rumah.

“Ka, kalau tubuhnya terasa panas, langsung minum obat yang Bibi beri tadi ya. Jangan sampai tidak diminum. Kalau tidak kuat sekali sampai tidak sanggup bangun, minta temanmu telepon Bibi. Nanti Bibi jemput atau kirimkan ambulans.”

Anka mengangguk-angguk. “Sudah, Bi?” tanya Anka dengan alis terangkat. Erin menghela napas. Ia tahu ada maksud mengusir dari nada tanya Anka. Tanpa memberi pesan yang tidak berkesudahan, Erin melajukan mobilnya.

***

Anka tidak bisa berkedip dengan mulutnya yang terbuka saat menyaksikan Diksa mengeluarkan semua perkakas melukis di ruangan khusus yang disediakan sang papa untuknya.

“Sebanyak ini alat-alat melukismu?”
Diksa mengangguk sambil tersenyum bangga. “Belum pernah melukis sama sekali ya?” tanyanya. Anka menggeleng pelan. Masih takjub melihat perlengkapan yang begitu lengkapnya.

Diksa mengeluarkan tiga kotak besar berisi berbagai jenis cat. Cat minyak, cat air, cat akrilik, dan lainnya. Diksa menjelaskan panjang-lebar tentang setiap barang yang ia tunjukkan di dalam kotak itu pada Anka yang hanya bisa menggumam sesekali sambil mengangguk-angguk. Ia tidak begitu paham dan ruang di kepalanya belum siap menerima informasi sebanyak itu.

“Eh? Kenapa ada spon cuci piring dan cotton-bud di sini?” tanya Anka yang heran sambil memegangi cotton-bud yang terikat dengan karet.

“Oh, itu termasuk alat untuk melukis juga loh. Di kotak yang ini adalah peralatan lukis yang menggunakan teknik tertentu.” Diksa mengeluarkan tali tipis, sikat gigi, bahkan bulatan kertas yang sudah diremat.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang