Lukisan Kedua

1.2K 182 49
                                    

New routine~

[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Cicitan burung dan sinar matahari yang menerpa langsung ke wajah membuat Anka membuka mata perlahan. Kepalanya yang pening tak ia hiraukan dan tetap membangkitkan tubuh. Memindai tempat asing di mana ia berada sekarang. Anka terbangun di sebuah ruang tamu kecil, dengan jendela yang sudah terbuka lebar.

"Oh? Papa, Papa! Temanku sudah bangun!" teriak seorang remaja, seumuran Anka, yang sedang mengangkat keranjang pakaian berisi pakaian. Sang papa sepertinya tidak mendengar panggilan sang remaja. Anka mengernyit heran sambil bergerak mundur sedikit saat remaja laki-laki asing itu mendekatinya.

"Hei, kamu mau makan tidak? Papaku sudah masak sarapan. Aku juga mau sarapan tapi harus selesaikan pekerjaan rumah dulu. Kamu mau makan sekarang?" Remaja itu meracau dengan cepat, tanpa mempedulikan Anka yang kebingungan.

"Eum ... maaf, kamu ..."

"Oh iya, aku Diksa. Kita satu sekolah loh. Kelas kita berseberangan. Pasti kamu tidak tahu aku ya? Aku sering melihatmu setiap Senin sore sebelum latihan taekwondo. Kebetulan, jadwal latihan taekwondo sama dengan jadwal kelas melukis yang aku ikuti. Kau pasti juga sering melihatku kan sebenarnya? Tapi tidak tahu namaku karena aku memang tidak terkenal. Tidak sepertimu yang popular di antara gadis-gadis di sekolah." Di akhir kalimatnya, Diksa terkekeh.

Anka sendiri masih terdiam untuk mencerna penjelasan remaja di hadapannya itu. Ya, ia memang pernah melihat remaja laki-laki ini. Sering malah. Mereka sering berpapasan dan sekali waktu tersenyum pada satu sama lain karena ruang latihan taekwondo dan kelas melukis melewati kelas mereka masing-masing. Bahkan, Anka pernah membantu Diksa memungut tabung-tabung cat air yang berserakan karena kaki Diksa tidak sengaja tersandung sesuatu saat berjalan menuju ruang melukis. Perkenalannya dengan Diksa membuat Anka menyadari sesuatu, bahwa ia tidak tahu banyak tentang lingkungan sekolah, meski ia termasuk ke dalam golongan murid yang dikenal baik seantero sekolah karena kemampuannya di klub taekwondo.

Yang masih jadi pertanyaan besar untuk Anka adalah bagaimana ia bisa sampai di rumah Diksa. Sedangkan seingatnya, ia baru saja kabur dari apartemen sang ayah dan membiarkan dirinya menikmati malam di sebuah atap gedung kosong.

"Bingung ya kenapa kamu bisa di sini?" tanya Diksa, seolah membaca pikiran Anka, meski ia sedang menyibukkan diri dengan memasukkan pakaian ke mesin cuci yang ada di samping kamar mandi. Rumah Diksa tidak besar, tapi juga tidak terasa sempit. Semua barang tertata dengan sangat rapi, termasuk susunan peralatan rumah tangga mereka. Sepertinya, baik ibu atau ayah Diksa adalah orang yang benar-benar disiplin dalam kebersihan dan sangat well-organized.

"Jadi, tadi malam ayahku mampir sebentar ke bekas toko kue kami yang ada di lantai bawah gedung lama. Ayahku mau mengambil beberapa barang yang ia letakkan di atap sebelumnya, dan menemukanmu dalam keadaan meringkuk di sana. Aku saja kaget saat ayahku pulang dengan manusia lain di mobilnya. Memangnya kau sedang apa sih di atap gedung? Kau tidak berniat untuk bunuh diri kan?" tembak Diksa tanpa menyaring pertanyaan.

Anka berdecih menanggapi pertanyaan itu. Hidup ini terlalu menyenangkan untuk sekadar ditinggal mati. Tidak sama sekali berniat bunuh diri, hanya saja Anka ingin menikmati rasanya berdiam sendiri. "Kalau mau bunuh diri, ayahmu tidak akan menemukanku di atap, tapi seharusnya dia menemukanku di bawah dan sudah bersimbah darah dengan kepala bocor." Jawab Anka santai. Diksa terkekeh kikuk sambil menggaruk hidung. "Iya juga ya." Ujarnya.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang