Goresan awal sudah ya. Sekarang, yuk kita melukis kisah baru.
[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
..
.
.
.
.Pelan-pelan, Kennard menutup pintu kamar Anka. Si remaja sudah tertidur, setelah bercerita panjang lebar pada tentang hari-harinya. Kennard memang sudah terbiasa dengan tugasnya sebagai seorang paman, bahkan mungkin juga sebagai pengganti ayah bagi Anka. Jika dipikir lagi, bisa saja Kennard mengabaikan Anka begitu saja. Membiarkannya merasa terasing, terabaikan, tidak terurus, karena sikap ayah kandungnya yang terlalu acuh. Namun, hati Kennard terlalu lemah untuk melakukan itu. Ia memang kesal dan jengkel pada sang kakak, tapi bukan berarti ia juga perlu membiarkan keponakan satu-satunya tak terurus sama sekali. Karena sejatinya, Anka tidak melakukan kesalahan apa pun.
Baru saja ia menyambar jaket hitam dari gantungan pakaian, suara password pintu masuk terdengar. Tampak sesosok pria muncul dari balik pintu. "Hei, Ken. Baru akan pulang?" tanya pria itu.
"Eum. Anka baru tidur. Banyak yang dia ceritakan tentang hari ini." Jawab Kennard sambil memasang jaket.
"Bercerita tentang apa? Tidak bosan-bosan ya dia bercerita padamu." Kekeh pria itu sambil melonggarkan dasi dan ikat pinggangnya.
Kennard menghela napas panjang dan memandang sinis pada sang kakak. "Tentu saja tidak bosan, Kak. Banyak sekali yang ingin dia ceritakan. Putramu itu menjalani hari yang panjang. Sebagai anak yang cukup aktif, banyak kegiatan yang dia ikuti. Bertemu banyak orang. Tidak sedikit hal yang bisa dia ceritakan. Setiap harinya berbeda dan bagaimana aku bisa bosan dengan hal itu?" sindir Kennard, terdengar tidak bersahabat. Namun sang kakak tidak menyadari kesinisan Kennard. Rigel malah langsung menghempas tubuhnya ke sofa, mengistirahatkan punggungnya yang terasa remuk setelah seharian bercengkerama dengan orang banyak. Lokasi syuting hari ini lebih ramai, karena beberapa penggemar dan teman sesama aktor mengirimkan food truck untuk merayakan ulang tahun Rigel. Aktor yang ketampanannya tidak termakan waktu itu baru saja menginjak usia ketiga puluh sembilan.
"Kamu di sini saja, Ken. Biar besok pagi bisa mengantar Anka ke sekolah." Tukas Rigel tanpa menoleh.
Kennard berdecih, tersenyum miris. "Bahkan kamu tidak tahu kalau besok adalah hari Minggu. Anka juga sudah memasuki masa liburan, jadi dia tidak perlu ke sekolah sampai dua minggu ke depan."
Rigel mengangkat kepala, lalu memandang Kennard. "Benarkah? Ah, baguslah. Tidak perlu repot memikirkan bagaimana dia harus berangkat ke sekolah." Ujar Rigel sambil menyenderkan kepalanya lagi ke sofa.
"Memang kalau Anka tidak ke sekolah, kamu tidak perlu memikirkan dia? Bagaimana jadwal makannya, apa kegiatannya, itu tidak menjadi pikiranmu? Kamu ini ayah macam apa sih, Kak?" Emosi Kennard meninggi, tergambar dari suaranya yang memancing Rigel untuk berdiri.
"Kenapa kamu yang kesal, Ken? Ini kan urusanku. Ini kehidupanku. Seharusnya kamu tidak perlu ambil pusing dengan apa yang kulakukan. Kamu hanya perlu melakukan tugasmu sebagai seorang adik yang membantu kakaknya dan sebagai seorang paman yang mempedulikan keponakannya. Lagipula, aku tidak pernah memintamu untuk mengurus Anka dengan berlebihan. Kan ada asisten rumah tangga yang sudah kubayar untuk mengurus kebutuhan Anka. Kurang apa lagi?" Rigel berkacak pinggang, membalas tantangan Kennard untuk berdebat.
Perang mulut malam ini dimulai lagi. Rigel dan Kennard memang tidak bisa bertemu dan bercakap dalam damai sejak kelahiran Anka. Mereka akan selalu memulai dan menutup pertemuan dengan perdebatan.
"Kamu tidak tahu betapa Anka kecewa sekali padamu saat dia didiamkan saja kemarin siang di lokasi syuting? Kamu bahkan tidak menoleh sama sekali, Kak. Padahal hari itu Anka berniat menunjukkan hasil belajarnya padamu. Kamu tidak pernah tahu kan anakmu itu sebenarnya adalah murid yang cemerlang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Jingga Di Angkasa
Ficção GeralJika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pilihan.