Lukisan Ketiga Belas

723 133 20
                                    

Sayup-sayup terdengar isakan. Oh, dari diri sendiri rupanya :'( Banjir sudah dengan chapter ini. Selamat ketemu dengan kak Anka ya. 

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Anka sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan Kennard sibuk membereskan barang-barang Anka dari laci ruang rawat. Wajahnya hari ini terlihat murung. Efek dari perselisihan paham dengan Erin kemarin. Kennard marah besar saat tahu bahwa Rigel datang ke rumah sakit, seenaknya membawa rombongan staf media dan menggunakan sampul kegiatan amal untuk menemui Anka. Bahkan membuat Anka menjadi narasumber tanpa izin.

Erin pun marah, tapi ia tidak bisa berbuat banyak karena Rigel sudah mengantongi izin dari pihak pengelola rumah sakit. Ia berdebat hebat dengan Kennard, saling bertukar argumen yang tidak ada ujungnya di dalam kamar Anka. Tanpa sadar, mereka membiarkan Anka terbangun dari tidurnya karena keributan yang mereka buat. Namun Anka tetap berpura-pura tidur karena ia tidak ingin ikut campur. Merapikan benang kusut dalam pikirannya saja belum mampu, apalagi untuk menyelesaikan masalah orang dewasa.

Takut-takut, Anka memandang pamannya yang memasukkan handuk dan juga pakaian ke dalam tas jinjing dengan teratur. "Paman?"

"Eum?" Kennard berhenti sejenak, tapi karena Anka terlalu lama diam, akhirnya ia melanjutkan kegiatannya. Anka menggigit bibir, ragu untuk bertanya tapi ingin tetap membantu meredakan emosi sang paman. "Paman, apa sedang berkelahi dengan bibi Erin?" tanyanya.

"Tidak. Hanya berbeda pendapat saja. Bibimu itu keras kepala kan? Makanya kami sedikt berselisih paham. Tidak usah khawatir. Kami sudah baikan."

"Benarkah?" Anka membulatkan mata. Antara percaya atau tidak jika paman dan bibinya itu benar-benar sudah berbaikan atau belum. Kennard mengangguk sambil tersenyum.

"Paman, kita akan pulang ke mana?"

"Ke rumah, Nak. Ke mana lagi?"

"Ke rumah ayah?"

Kennard meletakkan tas jinjing yang sudah ia tutup, lalu berlutut di depan kursi roda yang diduduki Anka. "Anka mau ke mana? Kalau Anka mau pulang ke rumah ayah, Paman akan antarkan. Paman sih berharap Anka pulang ke rumah Paman saja. Ada asisten di rumah yang Paman pekerjakan khusus untuk menjaga kamu."

Anka menelan ludah, menatap Kennard penuh makna, tapi Kennard sendiri tidak bisa mengartikannya. Dalam diam, Kennard berasumsi bahwa Anka ingin kembali ke rumah sang ayah. Naluri seorang anak tetap akan selalu sama. Lebih tertarik untuk tinggal bersama orang tua mereka yang sebenarnya. Kennard membulatkan keputusan dan siap membawa Anka kembali ke apartemen Rigel. Meski dengan hati yang tidak rela.

"Paman, apa aku bisa tinggal dengan Paman Ken saja untuk hari ini dan seterusnya?"

Pertanyaan itu membuat dorongan Kennard terhadap kursi roda terhenti. Kennard kembali berhadapan dengan Anka. "Kamu yakin? Kamu benar-benar mau tinggal dengan Paman?"

Anka mengangguk mantap dan membuat pipi Kennard terangkat sempurna, saking bahagianya dengan permintaan itu. "Paman akan segera menikah dengan Bibi Erin kan? Kapan Paman menikah?"

"Eum, belum menentukan waktu yang pasti. Kami belum membicarakannya lagi." Jawab Kennard.

"Bolehkah aku tetap tinggal bersama Paman meski Paman dan bibi Erin sudah menikah?"

Kennard menegakkan punggung dengan alis terangkat. "Tentu saja! Boleh sekali. Kamu boleh tinggal bersama kami. Kalau pun kami tidak jadi menikah, Anka boleh tetap tinggal bersama Paman, tapi tidak boleh memilih tinggal bersama bibi Erin ya."

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang