Sepasang suami istri itu baru saja keluar dari sebuah gedung rumah sakit. Si suami berjalan sembari menggandeng tangan istrinya dengan erat seolah berusaha untuk memberikan kekuatan setelah apa yang terjadi pada mereka sebelumnya.
"Tidak apa apa, Minju. Mungkin Tuhan memang belum bisa mempercayakan kita untuk bisa mendapatkan seorang anak".
Wanita itu lantas menatap suaminya dengan manik yang berkabut. "Tidak, Jay. Aku merasa telah gagal menjadi seorang istri. Aku... Aku sama sekali tak bisa menjaga bayi kita hiks".
Jay—pria itupun lantas mencoba untuk menenangkan istrinya dengan menariknya kedalam sebuah pelukan.
" Sstt... Jangan salahkan dirimu, Sayang. Apapun yang telah terjadi hari ini, semua berada diluar kuasa kita".
Minju sontak saja memberontak dalam pelukannya. "Tapi ini bahkan sudah ketiga kalinya aku kehilangan bayiku, Jay! Aku keguguran karena tubuhku yang lemah ini. Padahal aku sangat ingin memberikanmu seorang keturunan agar aku bisa menjadi istri yang sempurna bagimu". Pekiknya di sertai isak tangis yang makin pecah.
"Sayang, kumohon jangan seperti ini". Ucap si pria Park itu sembari menangkup wajah istrinya. Dengan lembut iapun menyeka lelehan air mata yang terus membasahi wajah cantiknya.
"Dengar.. aku masih bisa merasakan kebahagiaan walau hanya denganmu saja. Lagipula aku juga tak pernah memaksakkan kehendakku padamu untuk segera memberiku seorang keturunan".
Lantas setelah memberikan kata kata penenang seperti itu bagi istrinya, Jay pun mengeratkan pelukannya.
Satu minggu setelah kejadian hari itu, Minju tampak lebih banyak diam dan terlihat begitu murung. Meski sudah berulang kali Jay mencoba mengingatkan agar ia tak perlu lagi memikirkan hal yang selama ini selalu mengganggunya. Apa lagi memangnya jika bukan tentang keinginannya yang memberikan pria Park itu seorang anak.
"Bagaimanapun caranya aku harus bisa mendapatkan seorang anak".
Ya... Kemarin itu, Minju baru saja dinyatakan oleh dokter Jung--seorang dokter wanita yang mendiagnosanya, mengatakan jika sebaiknya Minju menunda kehamilannya dulu karena akibat dari keguguran berturut turut yang dialaminya. Selain itu, jika tetap di paksakkan maka akan membahayakan dirinya sendiri maupun si janin yang hendak dikandungnya nanti. Dan kemungkinan yang paling buruknya adalah bisa saja rahimnya diangkat. Minju tentu saja tak mau jika sampai hal menakutkan itu terjadi padanya.
Namun tiba tiba saja sebuah ide yang mungkin terdengar cukup gila muncul dalam benaknya. Dengan cepat iapun menyambar benda persegi di atas meja nakas tepat disamping ranjang tidurnya. Jemarinya tampak begitu gesit mencari cari sebuah kontak nama hingga akhirnya...
"Dapat!". Serunya sebelum menekan ikon berwarna hijau. Tak lama setelah nada sambung itu terdengar, suara seorang pria yang menyahut diseberang sanapun seketika membuat Minju menarik sudut bibir keatas.
"Halo, Minju?".
**
Begitu mendengar deru mesin mobil suaminya, Minju pun lantas bergerak membukakan pintu utama rumah dan menyambut kepulangan suaminya.
"Aku sudah menunggumu. Aku juga sudah membuatkan masakan kesukaanmu, ayo masuk!".
Sementara itu, Jay hanya dapat terkekeh kecil. Ia sedikitnya merasa senang karena istrinya itu tidak lagi menampakkan wajah yang murung. Maka dengan senang hati iapun mengekori wanita itu berjalan menuntunnya menuju meja makan.
Jay lantas terduduk manis berhadapan dengan sang istri ditemani suguhan hidangan yang terlihat begitu mengundang selera.
"Kau yang memasak semua ini sendirian?". Ucapnya sembari menyuapkan gamjajorim kedalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
bittersweet love | jaywon
Romance"Aku ingin kau menikah lagi..". "Kau gila ya? Aku tidak mau!".