"Kepada nyonya Naditta Abrianto, dipersilakan." Ditta melangkahkan kakinya menuju podium dan memulai sambutannya.
Naditta Abrianto, ia yang sejak tiga bulan menyandang nama gue dibelakang namanya. Pada akhirnya, gue yang kalah. Kalah dengan jarak dan hati.
Waktu itu, semuanya terasa berbeda dan berubah. Katakanlah gue brengsek, membawa hati seorang gadis hingga sangat jauh namun berakhir gue tinggalkan. Tapi, kalau dipaksakan juga rasanya itu seperti bukan cinta.
Kata maaf mungkin tidak akan cukup untuk menghapus kenangan buruk masa itu. Kami pada akhirnya berada di jalan masing-masing dan disinilah gue sekarang. Mendengar sambutan istri gue dihadapan banyak orang.
"Huh, akhirnya. Adek deg-degan banget, mas." Ucapnya saat kembali duduk disamping gue.
"Itu tandanya adek masih hidup." Jawab gue santai.
"Mas, ihh." Ucapnya sebal.
"I love you, dek. Tadi keren banget." Ujar gue lalu mengecup pelipisnya singkat.
"Thank you, mas."
Setelah 1 jam acara pun selesai dan dilanjut dengan makan siang bersama. Gue bersama Ditta bergabung dengan rekan-rekan lainnya di meja.
"Saya gabung disini, ya." Ucap gue lalu menarikkan kursi untuk Ditta.
"Siap, ndan. Silahkan."
"Kok lo jadi romantis gitu sih, Bri?" Tanya Ibram, teman seletting gue.
"Tau nih, Brian. Biasanya galak." Sahut Jati.
"Manner." Jawab gue singkat.
"Manner." Ucap Jati dengan menye-menye.
"Di rumah gitu juga, Dit, si Brian?" Tanya Ibram lalu Ditta menoleh ke arah gue.
"Jangan minta persetujuan dia." Sahut Jati.
"Ya, gitu deh kak." Jawab Ditta lalu diikuti gelak tawa Ibram dan Jati.
"Tuh, komandan kalian yang katanya galak. Masih bisa menye-menye kok, santai aja." Ujar Jati pada anggota kami.
"Jati sama Ibram gitu juga gak, Nes, Ca?" Tanya gue pada Vanes dan Meca, istrinya Jati dan Ibram.
"Parah." Jawab Vanes dengan gamblangnya.
"Ya, 11 12 lah sama Jati." Jawab Meca.
"See? Parah." Ucap gue lalu kami menertawakan Jati dan Ibram yang kini tengah misuh-misuh dengan istri mereka.
"Dek." Panggil gue saat kami sudah tiba di rumah.
"Ya, kenapa, mas?" Tanya Ditta lalu bergabung dengan gue yang tengah bersantai di sofa ruang keluarga.
"Gapapa. Mau peluk aja." Jawab gue lalu membawanya kedalam pelukan gue. Lalu hening menyelimuti kami, hanya suara dari TV yang terdengar.
"Adek udah nyaman ya disini?" Tanya gue membuka obrolan.
"Nyaman kok. Kenapa?"
"Kalau aku pindah tugas gimana?"
"Ya, gapapa. Adek ikut, mas."
"Jauh dari papah sama mamah?"
"Gapapa. Kata mamah, kalau adek udah nikah, kemanapun suami adek pergi dan mau bawa adek, ya harus ikut. Gak boleh nolak." Jawabnya.
"Aku bawa adek ke Kalimantan gapapa berarti?" Tanya gue menangkup wajahnya dan menatapnya lekat.
"Gapapa, masku sayang. Adek ikut." Jawabnya membalas dengan menangkup wajah gue juga.
3 months later
"Adek."
"Ya, mas."
"Dasi aku dimana ya?" Tanya gue dari ujung tangga.
"Di laci biasa."
"Gak ada, dek." Lalu tanpa babibu Ditta berjalan melewati gue menuju kamar dan
"Ini apa masku, sayang?" Tanyanya sembari menenteng dasi gue.
"Hehe, I love you, adek." Jawab gue cengengesan lalu mengambil dari merah yang ada ditangannya.
"Sarapan dulu, mas." Ucapnya meletakkan sepiring nasi goreng dihadapanku.
"Makasih, sayang." Lalu kami melakukan rutinitas sarapan seperti biasa. Saling bercerita agenda kami hari ini waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Itu tandanya gue harus berangkat.
"Hati-hati ya, mas."
"Iya. Adek baik-baik di rumah. Jangan kecapean." Ucap gue lalu Ditta menyalami tangan gue dan gue balas ciuman di keningnya.
"Ayah berangkat ya, queen. Baik-baik sama bubu." Ujar gue lalu mengecup perut Ditta yang mulai sedikit menonjol.
"Hati-hati, ayah." Ucap Ditta menirukan suara anak kecil lalu gue pun berangkat menuju kantor.
"Selamat pagi, ndan." Sapa gue pada bang Arham, senior gue disini. Ya, gue pindah tugas ke Kalimantan dan mulai bertugas sejak seminggu yang lalu.
"Pagi, Bri. Gimana kabar?"
"Baik, bang."
"Istri udah mulai ngidam belum?"
"Belum bang sejauh ini."
"Wah kalo istri saya udah mulai nih. Semalem minta mangga muda, haduh." Curhat bang Arham yang kebetulan istrinya juga sedang mengandung, sama seperti Ditta.
"Ya, semangat, bang. Anak abang yang minta itu." Jawab gue.
"Oiya, Bri. Nanti ada kunjungan kasat. Gak lupa kan?"
"Iya, bang. Siap. Beres." Lalu kami melanjutkan kegiatan bersama berkas-berkas hingga waktu menunjukkan pukul 11, dimana jika sesuai jadwal bapak kasat akan datang.
"Selamat siang, semuanya." Sapa seorang pria berseragam kebanggaan kami dengan dua balok dibahunya memasuki ruangan.
"Siang, ndan."
"Ini kanit barunya?"
"Siap, ndan. Betul."
"Selamat datang. Saya Radi Nares."
"Siap, Abrianto Hafii, ndan." Jawab gue lalu menjabat tangannya.
Semua berjalan normal, kami berbincang mengenai pekerjaan dan nostalgia selagi pendidikan di akademi kepolisian. Melakukan makan bersama di kantin dan saling memberi masukan. Tapi, ada satu perbincangan yang cukup terngiang buat gue.
"Sudah punya anak, Brian?" Tanya bang Radi, begitu dia minta dipanggil. Karena menurutnya, itu akan lebih memudahkan dan mengakrabkan kami untuk ke depannya.
"Siap, istri saya sedang hamil, bang."
"Wah, selamat. Sudah berapa bulan?"
"5 bulan, bang."
"Delaila juga sedang hamil, usianya sudah 8 bulan." Jawab bang Radi cukup membuat gue terdiam. Delaila.
"Ah, selamat, bang."
"Saya cukup paham dengan apa yang terjadi pada masa itu, Brian. Tapi saya rasa kita sudah sangat dewasa sekarang, bahkan sudah akan menjadi orangtua. Saya kira, sudah saatnya untuk saling melepas apa yang terjadi di masa lalu dengan damai." Jelas bang Radi membuat gue berpikir. Ya, dia benar. Ini sudah terlalu lama.
"Mari kita bertemu. Saya dengan Delaila dan kamu dengan istrimu. Undangan ini berlaku hingga batas waktu yang tidak ditentukan, Brian. Saya harap kamu berkenan." Ujar bang Radi lalu menyelesaikan cuci tangannya dan menepuk bahu gue lalu pergi.
Ya, kita harus berdamai bukan. Tidak saling menyimpan kesan buruk yang akan mendarah daging jika dibiarkan terlalu lama.
Hallo!! Selamat membaca kembali!🌻