Hari-hariku gitu-gitu aja. Cuma bedanya sekarang hidupku direcoki pak Dikta dan Nada. Enggak kok, aku gak ngerasa terpaksa banget, kalo soal Nada aku senang-senang aja. Tapi kalo pak Dikta yang mulai aneh itu ngusik hari-hariku, nah itu baru aku kesal. Mau modar rasanya.
"Nadia, ayo makan malam bersama. Nada yang minta."
Lihat! Lihat lelaki menyebalkan itu. Aku baru aja duduk dan ngemilin ciki lima ratusan di selasar kampus, eh dia nelepon dan bilang begitu.
"Nada yang minta atau bapak yang request?" tanyaku agak nyindir.
Lagian dia usik aku terus tiap hari. Selalu aja ada yang bikin kita ketemu. Dikira aku gak muak apa ya lihat mukanya? Ya iya sih dia ganteng... tapi masalahnya, setiap kali lihat wajahnya aku suka keinget tugas-tugasku.
"Gak usah ge-er kamu. Ya jelas Nada yang minta, bukan saya. Saya kan sudah punya pacar, kalau kamu lupa."
Ngeles aja si duda!
"Iya deh yang punya pacar..." balasku.
"Nanti langsung ke mobil saya aja. Kamu gak ada kelas lain kan setelah kelas saya?" tanyanya dari balik sambungan telepon.
Sambil ngunyah aku jawab, "Gak ada, Pak."
"Oke."
Dan setelah itu pak Dikta putusin sambungan teleponnya. Sebenarnya aku gak ngerti kenapa ya dia berlagak seolah-olah aku menerima keinginan anaknya? Dan bodohnya, aku kok gak nolak sih? Kenapa pasrah aja gitu?
"Dor!"
Jujur, aku gak kaget. Pinkan emang garing kalau mau ngagetin. Soalnya dia ketawa keras dulu sebelum ngagetin orang. Ya kan aku punya telinga, aku bisa dengar suara dia. Mana udah bertahun-tahun temenan, ya kali gak hapal suara ketawanya dia.
"Aduh gak kaget," kataku berlagak kaget.
"Ngeledek aja lo babi!" hardiknya. Pinkan duduk di sampingku. Ambil makanan yang sedang aku makan. Udah biasa. Dia kan culametan met met.
"Nanti abis kelas pak Dikta ke rumah gue yuk? Kakak gue baru pulang, emak gue banyak masak jadinya," ajak Pinkan.
Fyi aja kalau masakan mamanya Pinkan itu top markotop alias enak banget. Sebelas dua belas lah sama masakan mamaku.
"Sorry, gue sibuk."
Sayangnya aku harus nolak.
Pinkan senggol bahuku. "So iye banget lo sibuk-sibuk. Sibuk apa? Nagih risol?"
Aku memicing. Nickname diriku emang sudah jatuh kali ya? Jatuh sejatuh-jatuhnya sampai punya nama panggilan 'Nadia rentenir risol'.
Ngeselin banget sih! Siapa coba yang pertama kali mencetuskan itu?!
"Resign aja deh gue jadi tukang nagihin duit risol. Gak ada harga dirinya banget perasaan," kesalku sambil masukin makanan lagi ke dalam mulut.
"Baperan banget heran," Pinkan ketawa sambil tepuk punggungku. Bikin aku jadi tersedak.
Pinkan, kurang ajar! Dia malah lari!
*****
"Kok ke butik sih, Pak? Katanya mau makan malam," tanyaku bingung.
Ya bayangin aja coba, siang tadi pak Dikta nelepon yang katanya mau ngajak aku makan malam sama Nada dan dia. Tapi tahu-tahuannya dia ajak aku ke butik yamg kelihatannya harganya bukan untuk kantong miskinku.
"Udah diem aja. Kamu yang milih gaunnya atau saya?" tanya pak Dikta.
Aku cengo.
"Lama kamu. Biar saya aja yang pilih," katanya lagi akhirnya. Jalan meninggalkan aku yang masih kayak orang bodoh berdiri di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beloved Stepmother
ChickLit"Dari sekian banyak wanita yang saya kenalkan ke dia, cuma kamu yang deket sama Nada. Itu tandanya dia sayang sama kamu." - Dikta