o

4.9K 295 0
                                    

jangan lupa apa? iya betul vote dan commentnya ya juseyooo

*****

Gak kerasa udah hampir seminggu aku mengajari Nada hafalan surat pendek Al-qur'an. Kepandaiannya dalam bercakap dan mengingat memang tepat sekali menurun dari pak Dikta. Kadang aku takjub sama ingatannya. Bahkan kadang Nada menyetor surat pendek lebih dari jadwal yang ku berikan padanya. Dia nampak gembira.

"Hari ini surat apa ya yang harus Nada setorin ke Bunda?" aku pura-pura lupa seraya membuka Al-qur'an kecil milikku.

Masih duduk di atas sajadah dan mengenakan mukena seusai solat Magrib, Nada menjawab dengan semangat.

"Surat Al-ikhlas, Bun!"

Aku tersenyum mendengarnya. Lantas mengangguk dan menyuruhnya untuk memulai membacanya. Dan Nada memulainya dengan fasih hingga akhir.

"Alhamdulillah... hafalan Nada udah banyak sekarang. Besok jangan lupa hafalin lagi ya," kataku.

"Bun, terimakasih, ya..."

Tiba-tiba Nada mendekatiku. menggenggam tanganku dengan matanya berkaca-kaca.

"Terimakasih karena udah mau jadi bundanya Nada. Nada seneng Daddy pilih bunda bukan tante matre itu," tambahnya yang kini sudah mengubah warna hidungnya jadi memerah.

Entah kenapa kalimat simpelnya itu membuatku ingin menangis. Nada nampak tulus mengatakan ucapan terimakasihnya itu padaku. Aku belum cukup lama mengenal pak Dikta dan Nada, tapi entah kenapa keduanya terasa hangat di dadaku jika ku ingat.

Ku usap lembut belakang kepalanya. Membuat Nada tak kuasa menahan airmatanya yang sudah menggantung di ujung matanya.

"Sama-sama. Terimakasih juga ya, Nada... sudah jadi anak baik dan solehah buat Daddy. Bunda juga bangga bisa liat Nada kayak gini," kataku mulai emosional.

Nada memelukku tiba-tiba. Menumpahkan airmatanya di dadaku. Anak sebaik ini kenapa ya harus kesepian? Aku jadi takut melukai hatinya yang tulus.

Triring!

Suara pin pintu.

"Tuh, Daddy kayaknya udah pulang. Bunda harus siap-siap pulang juga. Besok bunda ke sini lagi," kataku, melepaskan pelan pelukan kami.

"Can you stay here tonight?" pintanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"I wanna hug you until i sleep," balasnya.

"Kita makan aja dulu ya? Daddy pasti udah beliin Nada nasi goreng pesenan Nada tadi!" kataku, mengalihkan dan mulai melepaskan mukena untuk segera menghampiri pak Dikta.

Dan ya, seperti yang pak Dikta pernah katakan, bahwa ketika ia pulang kerja ia juga mengerjakan pekerjaan rumah. Contohnya saat ini ia sedang menyiapkan makan malam untuk kami bertiga. Kalau dipikir-pikir, jika harus ku putar balikan posisinya denganku, aku juga capek jadi beliau.

"Dad!" panggil Nada yang membuat pak Dikta berbalik dan merenggangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk memeluk putri semata wayangnya itu.

"How your day?" tanya Pak Dikta.

"Great!" balas anak kecil itu.

Aku terkekeh melihat interaksi kedua manusia di hadapanku ini. Jika saja masih ada mamanya Nada di sini, mungkin dia juga bakal terharu.

Pak Dikta beralih menatapku.

"Sudah selesai, ya?" tanya pak Dikta yang ku angguki.

"Baru aja selesai. Nada keren banget loh Pak hafalannya!" aku mengacungkan kedua jempolku.

Pak Dikta tersenyum. Mengusap rambut anaknya penuh bangga.

"Sayang banget saya gak dengar Nada mengaji gara-gara hari ini saya pulang telat. Daddy minta maaf ya, sayang..."

Pak Dikta mengusap kembali kepala sang anak.

"Its okay, Dad. I know you so busy," balas Nada tulus.

"Thank you."

Dan ya, setelah percakapan ringan itu, ku persilahkan pak Dikta untuk segera membersihkan tubuhnya dan menyegerakan ibadah. Setelah solat isya berjamaah aku sudah harus segera pulang. Kalau enggak aku kena omel ibu.

"Dad, boleh gak bunda nginep sini malam ini? Nada mau bobo sama bunda," pinta gadis tujuh tahun itu seusai kami selesai solat isya.

Aku menatap Pak Dikta untuk lihat reaksinya.

"Kenapa tiba-tiba mau bobo sama bunda? Nada udah gak mau bobo sama Daddy?"

Mulai deh dramanya si bapak...

"No. Kalo bisa bobo bertiga kenapa enggak?" kata Nada yang buat aku dan pak Dikta speechless.

Aku kaget tapi aku gemas juga. Alhasil aku spontan menjawil hidungnya.

"Kamu belajar dari siapa jawab kayak gitu?" tanyaku.

Nada hanya tertawa.

"Boleh ya, Dad?" pinta Nada lagi.

Pak Dikta menatapku yang juga lagi menatapnya. Sebetulnya aku juga bingung kalau Nada nanya itu terus.

"Kamu bisa nginap di sini malam ini? Kalau keberatan juga gak usah maksain cuma karena Nada yang minta," kata pak Dikta.

"Ya gimana ya, Pak... sebenernya mah gakpapa juga, cuma saya belum izin ke orang rumah bakal nginep sini. Takutnya kan mereka ngira saya kenapa-napa kalo belum izin," balasku agak gak enak.

"Ya udah kalau gitu Nada sama Daddy aja yang nginep di rumah Bunda!"

*****

to be continued

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang