d

7.8K 500 2
                                    

"Danus udah dibagiin, Nad?"

Pertanyaan ketua himpunan membuyarkan sedikit lamunan lesuku yang sedang duduk di kursi ruang rapat sambil menopang dagu.

"Udah," balasku gak bersemangat.

Derekan kursi di hadapanku sama sekali gak mengganggu dan menghentikan kegiatanku. Sampai kemudian ketua himpunan itu duduk di depanku sambil menopang dagu juga. Persis meniruku. Bedanya dia malah mesem-mesem kayak kecacingan.

Aku meliriknya sekilas. Untuk sekedar nanya 'kenapa ngikutin?' aja rasanya malas banget. Kepalaku masih keingat kejadian semalam di angkringan. Rasanya ingin menyublim aja deh. Kok bisa sih aku punya keberanian setebal itu buat ikut campuri urusan dosen sendiri? Cari mati banget emang!

"Kenapa lesu banget sih, Nad? Biasanya juga bacot, marah-marah atau enggak nyanyi-nyanyi bahasa alien," tanya Adit sedikit meledekku.

Bahasa alien yang dia maksud itu bahasa Korea dan Cina. Ya gitu deh... aku suka menyanyi meski liriknya gak hapal. Jadi kedengarannya seperti bahasa alien yang gak jelas artinya.

"Gue ngeselin banget gak sih, Dit?" tanya gue masih dengan lesu.

Adit mengerut dahi. "Ngeselin gimana?"

"Ya gitu... Suka ikut campurin urusan orang misalnya," kataku lagi.

"Oh. Enggak juga sih, tapi tergantung. Lo tuh suka ikut campur kalau lo-nya emang gemes liat perdebatan yang gak nemuin titik temu. Kayak, lo suka cari 'rumus masalahnya' supaya perdebatan oranglain tuh cepet kelar. itu pun juga kadang," jelas Adit panjang lebar.

"Kenapa emangnya? Lo lagi ada masalah?" tanya Adit kemudian.

Dengan wajah melas, aku mengangguk. Sudut bibirku turun.

"Masalah apa? Tugas numpuk? Ribut sama temen?" tanya Adit lagi.

"Lebih parah dari itu. Ini bisa-bisa gue kena kartu kuning dari kampus," kata gue ngarang.

"Kok bisa?" kekeh Adit.

"Dit..." gue panggil Adit. Genggam tangan dia dengan tampang serius. "Lo kudu siap cari pengganti gue buat nagihin danus ya? Lo harus siap-siap kalau besok gue di d.o sama kampus!"

Gak tahu apa yang lucu, tapi Adit malah ketawa dengar omonganku barusan. Padahal itu sebuah ketakutanku. Mau ku sebut anxiety tapi jatuhnya malah berlebihan, orang gak separah itu kok. Tapi kalau-kalau pak Dikta beneran murka dan dia mengutus pihak kampus untuk keluarin aku karena terlalu kepo sama urusan keluarga dosen, bisa berabe.

Alasannya gak estetik ya kan? Tapi ya bisa aja itu terjadi.

"Apa sih, Nad? Lo sakit ya? Ini masih pagi tapi udah gak jelas. Kayak orang kesurupan biji kecubung lo tau?" Adit mengibaskan genggamanku. Kembali terkikik seolah aku sedang melawak.

Aku mendengus. "Gue gak lagi bercanda, Adit! Ini gue lagi cemas tau!"

"Kok lo bisa mikir gitu? Emang lo abis ngapain sampai kampus d.o lo? Absen lo bolong semua? Perasaan lo tiap hari jobless deh, mondar-mandir di kampus nagihin danus abis gitu nongkrong di kantin," papar Adit, menyebalkan.

"Dasar kambing! Omongannya nyelekit banget," sungutku.

Setelahnya, bersamaan dari aku selesai bicara begitu, Fian—teman satu himpunan dan satu tongkronganku— datang. Berdiri natap aku dengan intens.

"Kenapa? Terkesima lo sama kecantikan pari purna gue?" pdku.

"Dih? Cakep lo?" katanya.

Sialan!

"Cakeplah gila, masa enggak!" balasku.

"Udah ah gak usah bercanda. Sana ke ruangan pak Dikta. Lo dipanggil tadi sama dia. Kayaknya bahas soal kemarin itu deh," kata Fian yang seketika aja membuat mentalku jatuh sejatuh jatuhnya. Kedua telapak tangan dan kakiku bahkan dingin.

"Dit..." panggilku. "Siap-siap ya. Dengerin apa yang gue bilang barusan. Maaf ya kalau gue ada salah sama lo, ke lo juga Fian. Bye semua! Gue cinta kalian!"

Drama banget ya? Emang.

Setelahnya, aku berjalan gontai keluar ruangan. Tapi kembali masuk lagi dan berdiri di ambang pintu. Fian dan Adit kebingung.

"Kenapa balik lagi? Minta ditemenin?" tanya Adit.

Aku menggeleng. "Ruangan pak Dikta sebelah mananya ruangan pak Heru ya? Gue gak tau."

"Boleh ketawa kenceng gak sih?" tanya Fian.

*****

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang