e

7.4K 476 2
                                    

Aku membuka pintu ruangan pak Dikta setelah sang pemilik menyuruhku untuk masuk. Sumpah demi apapun, ruangan ini benar-benar menyeramkan!

Ku lihat pak Dikta sedang sibuk dengan beberapa lembar yang kutebak pasti hasil ujian kelas sebelah yang diadakan dua hari yang lalu. Sampai kemudian pak Dikta menyadari kehadiranku, atau mungkin dia mulai menyadari kalau di sini ada manusia kebingungan yang sedang berdiri di depannya dengan jantung yang gemetar.

Pak Dikta menyuruhku untuk duduk tanpa bicara. Yang benar saja! Dia kan punya mulut, kenapa harus nyuruhnya pakai gestur segala sih? Tuhan ciptain mulut dan suara itu adan fungsinya, ya! Bukan cuma pajangan.

"Mohon maaf, Pak... Ini sebenernya ada apa ya? Kok saya dipanggil ke ruangan bapak?" tanyaku gemetar. Enggak deng canda! Aku gak gemetar, aku cuma agak sedikit takut.

"Soal kemarin ya, Pak? Bapak marah sama saya yang gak sopan kemarin, ya? Aduh Pak, saya minta maaf. Saya janji bakal lakuin apa aja asal bapak jangan nyuruh kampus buat d.o saya, Pak..."

Aku memohon. Aduh... Jangan sampai ada temanku lihat aku memohon seperti ini. Ini kali pertamanya aku terlihat menurunkan harga diriku. Sekalipun itu di depan dosen!

Ku lirik sekilas wajah pak Dikta. Bisa dilihat sekarang wajahnya nampak mengurat kebingungan tanpa mengutarakan sebuah frasa seperti, "Saya maafkan. Tapi jangan diulangi lagi, ya?"

Hah! Mustahil sekali. Ini kuliah, bukan lagi masa sekolah!

"Essay kamu sudah selesai?" tanya pak Dikta yang seketika membuatku mendongak. Menurunkan tangkupan tanganku yang sedang memohon.

"Eh? Be--belum, Pak. Dikumpulkan sekarang memangnya, ya, Pak? Saya kira dikumpulkannya pas ada kelas bapak lagi," balasku kelabakan. Antara malu, bingung, dan takut karena aku belum mengerjakan tugas esainya yang kemarin.

Tapi respon Pak Dikta benar-benar diluar ekspektasiku. Dia hanya mengangguk acuh dan kemudian melepaskan bolpoin yang sedari tadi dia genggam. Menyingkirkan beberapa lembar esai yang menghalangi tangannya di atas meja.

Aduh! Kok aku ngerasa akan disidang ya?!

"Anyways, kamu bilang tadi bakal lakuin apa saja asal saya mau maafin kamu soal kemarin. Apa itu benar?" tanya pak Dikta.

Lagi-lagi jiwa kagetanku muncul.

"O--oh iya, pak. Apa aja, asal jangan keluarin saya dari kampus. Sayang banget Pak bentar lagi saya nyusun skripsi," melasku.

"Serius?" tanya pak Dikta lagi.

"Iya."

"Tapi sebelum saya kasih syarat untuk maafin kamu, saya mau nanya sesuatu sama kamu. Ah! Bukan nanya sih, tapi kasih tau aja," katanya ambigu. Benar-benar gak bisa aku cerna maksud tujuannya itu apa.

"Kemarin Nada deketin kamu pertama kali. Dia juga gak takut atau malah nakal sama kamu padahal dia gak kenal kamu siapa..." katanya.

Aku mengerut dahi. Nada? Nada siapa? Eh,sumpah aku berasa lupa ingatan!

"Nada siapa ya Pak kalau boleh tau?" tanyaku.

"Anak kecil yang kemarin malam bareng saya. Anak saya itu," balas pak Dikta tenang.

Bibirku membentuk bulan purnama setelah kembali ingat kalau nama anak kecil nan cantik itu namanya Nada.

"Nada kayaknya suka aura kamu," kata pak Dikta kemudian.

Dalam hati aku berbangga hati. Ya gimana gak bangga? Auraku tuh emang positif banget, makanya anak kecil aja langsung nempel sama aku padahal dia gak kenal aku. Meskipun sebenarnya aku lebih suka bayi sih daripada anak kecil. Kadang, ada beberapa anak kecil yang ngeselin dan nakal. Tapi kayaknya Nada anak yang baik, nurut, dan menyenangkan. Kayak aku sewaktu kecil. Hehe.

"Hehe, iya, Pak. Anak kecil suka nempel sama saya gitu sih emang, kayak magnet."

Mulai kan pedenya.

"Saya gak nanya," balas pak Dikta yang seketika menjatuhkan rasa percaya diriku.

Aku memasang wajah kecut. Dosen di depanku ini emang gak bisa diajak bersahabat. Selalu aja jatuhin mental mahasiswanya padahal kan itu sikap yang jahat. Dasar pak Dikta kayak Rangga! Jahat.

"Maaf, Pak," kataku agak nunduk.

"It's not problem. By the way, Nada nanyain kamu tadi pagi," kata pak Dikta yang beneran kali ini membuat aku terkejut.

Dan lihat! Wajah pak Dikta memerah meski dia menahannya agar semburat merah di pipinya memudar. Hah! Aku benar-benar harus berbangga diri.

"Nanyain saya apa, Pak? Eh? Maksud saya, kenapa? Eh, bukan! Maksudnya... anu... gimana ya?"

Mendadak aku gak tahu haru bereaksi apa untuk balas pernyataan pak Dikta. Beneran bingung, takut salah ngomong lagi. Nanti kena bacok omongan pak Dikta yang gak punya hati.

Omongan pak Dikta = trauma.

"Nadia..." panggil pak Dikta.

Tahu gak? Pak Dikta manggil namaku seperti itu, tapi darahku dari ubun-ubun berasa tumpah semua ke telapak kaki!

Ada apaan nih? bisikku dalam hati.

Pak Dikta mengulum bibir bawahnya kemudian menggigitnya. Dia bahkan gak berani natap aku. Dia tuh sebenarnya kenapa sih?

"Mari bicarakan hal yang serius," lanjutnya yang membuatku mengerut dahi.

Soal apa? Jangan bilang bahas IPK-ku?! Nilaiku turun? Atau jangan-jangan nilaiku naik jadi 4.00?! Wah! Orang rumah, teman-teman, dan semua tetangga harus tahu! Malam nanti aku bakal bikin syukuran!

"Tapi kamu beneran mau menyetujuinya kan? Kamu udah bilang tadi sebelumnya, apapun syaratnya, kamu bakal terima asal saya maafin soal kemarin!"

Lah? Masih bahas ini ternyata. Ku kira udah kelar.

"Iya, Pak, apa aja."

Agak lesu sih... tapi ya sudahlah.

"Kamu mau kan merealisasikan keinginan Nada?" tanyanya.

Aku mengerut dahi. "Keinginan apa ya, Pak, maksudnya?"

Pak Dikta kulum bibirnya lagi. Sumpah! Aku jadi gregetan. Pak Dikta beneran kayak orang yang gak percaya diri padahal gak biasanya begitu.

"Soal Nada yang mau kamu jadi ibu sambungnya."

DUARR!

Kaget gak? Kaget gak? Kaget lah! Masa enggak.

Beneran, aku kaget. Aku kira mau bahas keinginan Nada apaaan, eh tahunya keinginan anak itu yang mau jadikan aku ibu tirinya. Aku sampai speechless dan gak tahu harus jawab apa.

"Kamu gak perlu kaget, kita gak akan langsung adain pernikahannya kok, kamu masih punya waktu banyak untuk pendekatan dulu sama Nada. Saya juga punya pacar yang harus diberi pengertian soal ini," katanya panjang lebar seolah aku sudah menyetujui keinginan anaknya.

Gila! Gila sekali duda di depanku ini.

"Aduh, Pak, ini gimana ya maksudnya? Tiba-tiba otak saya nge-lag," kataku kayak orang bodoh.

"Saya tau kamu ngerti maksud saya. Kamu mahasiswa, ya kali gak paham."

Sialan. Dia kok bisa ya percaya diri banget jatuhin mental orang?

******

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

kalau ada kesalahan nulis atau nama Nada yang jadi Naya boleh kasih tau aku di kolom komentar yaa

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang