6 bulan kemudian....
"Halo?"
Nadia mengangkat sambungan telepon dari kakak sepupunya. Ia tengah bermain bersama Nada di ruang bermain rumahnya. Nada hanya diam memperhatikan Nadia yang sedang menempelkan ponsel ke telinganya—menguping.
"Nadia, kamu bisa ke Malang gak? Kakak besok mau lahiran, ada acara kecil-kecilan di rumah sakit buat nyambut kelahiran anak kak Rima. Tapi kalau kamu gak bisa juga gakpapa, kakak ngerti kamu pasti lagi sibuk kuliah dan urus keluarga."
"Ih, kak Rima ngomong apa sih? Nadia bisa kok ke Malang malem ini!" dengan semangat Nadia menjawab.
Nada yang mendengar kata 'Malang' terlihat ikutan excited. Nada juga mau ikut!
"Beneran nih? Ya udah deh, kak Rima tunggu ya. Sampai ketemu besok di rumah sakit!"
"Iya kak Rima! Dadah!"
Nadia menutup sambungan teleponnya. Senyum terukir indah di bibirnya yang tipis. Lantas matany beralih pada Nada yang tengah menatapnya dengan penuh harap.
"Kenapa, Nada?" tanya Nadia.
"Bunda mau ke Malang?" tanya Nada berbalik.
"Iya, Nak. Nada mau ikut?" Nadia terceletuk menanyakan yang diangguki Nada dengan antusias. Membuat Nadia terkekeh geli.
"Oke, deh! Kita ke Malang malem ini ya. Yuk, siap-siapin bajunya! Lets go~"
*****
Malamnya...
"Mas, kak Rima mau lahiran besok," kata Nadia.
"Kapan?" tanya Dikta.
"Besok, Masss," ulang Nadia.
"Oh," – Dikta
"Aku boleh ya ke Malang? Aku udah lama gak ketemu kak Rima," kata Nadia lagi yang kali ini mendapatkan respon tolehan dari Dikta. Tatapannya menyelidik.
"Kak Rima siapa sih? Emang penting kamu ke sana?" tanya Dikta.
"Kakak sepupu aku, Mas. Dia tinggal di Malang sekarang karena suaminya lagi dinas di sana. Aku harus ke sana buat ikut ramein acara syukuran anak pertamanya," Nadia mulai merengek.
"Malang kan jauh, Nadia. Emang kapan mau ke Malang nya?" Dikta nanya lagi.
"Malam ini!"
Dikta melotot. "WHAT?! Dadakan?!"
"Enggak. Kamu ikut juga gakpapa kok, Nada mau ikut juga soalnya," Nadia kembali berujar enteng.
"Nada juga?! Kok dadakan sih? Saya juga harus ikut buat jagain kalian, tapi masalahnya besok saya ada rapat penting sama pak rektor..."
Nadia paham, jadi dia mengangguk seraya menepuk bahu Dikta.
"Gakpapa, Mas, gak perlu maksain. Aku bisa kok berangkat berdua sama Nada. Bertiga deng! Sama dedek," Nadia mengusap perutnya yang membuncit. Disusul dengan usapan dari Dikta.
"Jaga dua anak itu gak gampang, Nadia. Saya harus ikut!" keras kepala Dikta.
"Tapi kan ada rapat sama rektor, Mas."
Dikta menghela napas berat. Lantas menatap lekat wajah istrinya itu.
"Ya udah deh saya izinin kalian pergi. Tapi, gak boleh naik travel apalagi bis umum! Saya yang bakal booking taksi dari pergi sampe pulang. Kamu gak boleh nolak!" galak Dikta yang diangguki geli oleh Nadia.
"Ya udah sana beres-beresin pakaiannya. Hari Minggu udah harus pulang, ya!"
Nadia mengangguk lagi. "Iya, iya. Tenang aja Mas, aku udah packing semua kebutuhan aku sama Nada di koper."
Dikta menatap Nadia sengit. "Kamu keliatan seneng banget. Mirip kayak Rapunzel yang mau kabur dari menara!"
Nadia ketawa. "Haha, gak gituuu. Sebentar aja ya, Mas. Nanti aku balik lagi!"
Nadia mengecup pipi Dikta dengan suara nyaring. Membuat Dikta terkejut bukan main.
"Makasih ya, Mas! I love you!" Nadia memeluk erat Dikta.
Huh! Dikta masih belum terbiasa dengan perlakuan Nadia yang agresif seperti itu!
"Masss, i love you too nya manaaa?!"
*****
The last chapter on progress...
KAMU SEDANG MEMBACA
Beloved Stepmother
ChickLit"Dari sekian banyak wanita yang saya kenalkan ke dia, cuma kamu yang deket sama Nada. Itu tandanya dia sayang sama kamu." - Dikta