c

8K 522 0
                                    

Semua mata tertuju pada kami. Maksudku, aku, pak Dikta, anak kecil itu, dan seorang wanita matang yang berdiri di samping pak Dikta. Boleh sedikit menilai? inyi bukan julid, tapi menurutku wanita itu terlalu mewah untuk jadi pasangan pak Dikta. Ya... bukan berarti pak Dikta nampak tidak mapan dan kaya, tapi agaknya mereka tidak cocok jadi pasangan.

Pak Dikta kelihatannya juga seperti kaget ketika melihat aku dan teman-teman yang lain. Mungkin dalam hatinya bicara kalau dunia kok sempit banget. Selalu ketemu sama mahasiswanya dimana-mana.

Setelahnya, pak Dikta mendekati anak kecil yang masih anteng berdiri di samping mejaku. Menariknya lembut meski sebenarnya nampak terlihat jelas dari rautnya kalau dia sedang menahan marah.

"Nada, kita bicarakan ini di rumah."

Tanpa teriak memang, tapi nada suaranya sangat jelas kalau omongannya gak mau dibantah. Terdengar tegas dan menakutkan sebenarnya, kalau saja aku adalah anak kecil itu. Dan sepertinya anak kecil yang dipanggil Nada itu juga sama halnya denganku kalau jadi dia. Dia meringkukkan kedua bahunya dengan kepala tertunduk.

Pak Dikta menarik tangan anaknya, langkahnya sedikit menyeret membuat bocah itu kesulitan. Sedangkan wanita mewah tadi nampak tak peduli dan tak ada gelagat untuk memberhentikan aksi kasar seorang ayah pada anaknya itu.

Aku emang gak punya adik, apalagi anak, aku belum punya. Tapi lihat pak Dikta memperlakukan anaknya seperti itu, membuat aku jadi marah dan gak terima. Spontan aku berdiri dari dudukku dan berjalan mendekati mereka menuju parkiran. Mengabaikan panggilan teman-temanku yang kebingungan.

"Pak, maaf," panggilku. Mencoba memberhentikan langkah ketiga manusia itu. dan foila! Mereka berhenti melangkah dan berbalik menghadapku.

"Kenapa? Ada urusan sama kami?" tanya wanita mewah tadi yang terdengar tak suka akan kehadiranku.

Dalam hati aku berdecih. Bisa-bisanya pak Dikta menyukai wanita arogan seperti itu. Pantas saja anaknya tak merestui.

"Maaf pak kalau saya terlalu lancang, tapi bisa gak ya pak anaknya jangan diseret begitu? Kelihatannya anak bapak gak suka dan dia kesakitan," kataku, sedikit melirik anak kecil itu yang terlihat ingin sekali menangis.

Pak Dikta menatapku dingin. Kalian tau rasanya? Horor.

"Benar, kamu terlalu lancang ikut campur urusan keluarga orang. Dia anak saya, bagaimana saya menghukum anak saya itu ya hak saya. Kamu orang luar, gak tau apa-apa."

Pak Dikta tuh emang batu banget!

Aku menghela napas. Capek sebenarnya menghadapi manusia minus akhlak seperti dia. Tapi karena aku masih ingat kalau dia itu dosenku di kampus, ku urungkan niatku untuk menghardik dan menarik tangan anaknya untuk mendekat ke arahku. Punya bapak kok kasar banget!

"Saya tau pak, maaf saya lancang lagi. Tapi anak bapak masih kecil. Alangkah lebih baiknya bapak kasih pengertian aja, jangan ditarik gitu, pak," kataku lagi. Masih punya mental baja nih.

"Kamu belum punya anak kok so tau sih?! Kamu gak tau kan pasti senakal apa anak ini?" kali ini wanita mewah itu yang angkat bicara.

Sebenarnya aku agak kaget dengan responnya.

Gak lama dari itu, anak kecil itu melepaskan genggaman kasar ayahnya. Berlari mendekatiku dan bersembunyi di punggungku. Tangannya nampak dingin dan bergetar. Sudah ku katakan kan kalau anak kecil ini ketakutan? Sekalipun ayahnya gak teriak memarahi, tapi tetap aja intonasi pak Dikta selaku ayah terlalu kasar.

Pak Dikta terkejut bukan main. Aku juga sih. Tapi aku mencoba untuk terlihat santai. Membalas genggaman naya dengan hangat. Kasih tahu ke dia kalau aku bakal jagain dia semampuku.

"Nada, jangan nakal! Cepat ke sini, kita pulang!" kali ini pak Dikta lebih tegas berkata.

"Pak!" gak bisa ini gak bisa dibiarin. Aku gak bisa biarin pak Dikta kasarin terus anaknya. Dia gak mikir ya kalau kelakuannya itu bisa bikin mental anaknya gak baik-baik aja?

"Gak mau! Nada gak mau pulang sama daddy! Daddy jahat semenjak kenal sama tante matre! Daddy gak sayang sama Nada lagi!" tangis Nada di balik punggungku.

Gila! Miris banget.

Pak Dikta menahan dirinya untuk tidak marah. Berbalik memunggungiku, menjambak kasar rambut belakangnya, dan menghela napas kasar. Lantas kembali menghadap aku dan Nada. Posisinya sedikit membungkuk, mensejajarkan tingginya dengan Nada.

"Oke, daddy minta maaf. Kita bicarain baik-baik di rumah, okay? Daddy janji gak akan marahin kamu," kata pak Dikta.

Aku cuma bisa diam. Speechless sebenarnya lihat pak Dikta yang dingin dan nyebelin di kampus mendadak jadi kayak gini di depan anaknya. Ya wajar sih... namanya juga duality jadi ayah dan duda.

Nada mulai melonggarkan genggamannya di tanganku. Mendekati ayahnya, dan membalas uluran pak Dikta.

"Thank you. But, before we go home, please say sorry to tante Esther," titah pak Dikta yang disinisi lirikan Nada.

"No! Aku gak salah! Apa yang aku bilang bener kok. dia matre, dia cuma mau harta daddy aja!" katanya.

Ku lihat lagi, pak Dikta nampak kembali tersulut emosi. Mau ku tarik anaknya tapi pak Dikta keburu menarik masuk anaknya ke dalam mobil. Disusul wanita mewah itu. Pak Dikta menatapku dulu sebelum ia memutari mobilnya untuk masuk ke kursi kemudi. Tatapannya galak seperti hendak membunuhku. Tanpa kata, lelaki itu pergi dan menancap gas.

Aku menghela napas panjang.

"Say hello pada nilai anjlok, Nadia..." lesuku.

*****

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang