f

7.1K 412 3
                                    

"Masih nagihin duit risol, Nad?"

Fadlan—teman satu organisasiku—bertanya. Ada tawa tertahan dari nada suaranya. Ya sudah ku duga anak-anak himpunan sudah biasa bertanya begitu sebagai ejekan karena seringnya aku mondar-mandir di koridor kampus. Suah persis seperti penjaga kebersihan kampus saking seringnya mereka temui aku di selasar ruang kelas.

"Ya menurut lo aja? Emang tugas gue selain jadi rentenir risol apaan lagi?" tanyaku balik, agak kesal.

Fadlan ketawa. Dia baru saja keluar dari kelasnya beberapa saat lalu. Bertepatan dengan aku yang baru saja berdiri di depan kelasnya satu menit lalu. Ngapain? Ya nagihin uang risol dari si Kurniawan lah!

"Ya udah gue temenin deh," kata lelaki tinggi bertubuh atletis itu. Kalau saja Fadlan itu tipe idealku, sudah ku pastikan aku kepincut sama dia sekarang. Sayangnya, seganteng-gantengnya dia, aku sama sekali gak suka dia sebagaimana aku gebetin lelaki. Maaf ya Fadlan.

"Terserah lo. Tapi si Kurniawan kemana? Duit risol ada di dia. Tadi gue chat dia bilang suruh gue ke sini," kataku dengan kedua alis menekuk ke bawah.

"Ada di dalam. Masih ada urusan deh kayaknya sama pak Dikta."

Aku seketika nge-lag ketika Fadlan sebut nama itu. Bukan apa-apa, semenjak kejadian obrolan kita di ruangannya  beberapa jam lalu, aku kalau ingat nama dia bahkan kalau gak sengaja papasan sama dia tuh rasanya mau menghilang aja gitu. Agak gimana banget rasanya ketemu dosen tapi yang teringat obrolan soal dia yang secara gak langsung lamar aku.

"Siapa? Pak Dikta?" tanyaku agak gagap.

Fadlan ngangguk polos.

"Aduh! Gue baru inget kalau gue ada urusan sama Aldo! Duit risolnya besok aja lagi deh ya gue tagih. Lo bilangin ke si Kurniawan! Besok gue tagih jangan sampai duitnya dia lipet buat nyebat ya!"

Baru saja aku berbalik badan untuk menghindar, sayangnya Fadlan menarik tote bag-ku dan bilang, "Tuh si Kurniawan udah mau keluar bareng pak Dikta."

Aku memejamkan mata. Niat hati mau menghindar eh malah gagal. Dengan terpaksa aku membalikan badan. Dan benar saja, dua lelaki itu kini muncul di handapanku dengan tampang datarnya.

Fadlan menundukan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat, aku menyusul dengan rasa lesu.

"Selamat siang,Pak.." sapaku basi.

Pak Dikta menatapku, lantas mengangguk. Dan setelahnya berlalu begitu saja. Dalam hati aku sedikit bersyukur karena pak Dikta langsung pergi tanpa ngomong yang macam-macam.

Setelah itu aku melirik Kurniawan tajam.

"Buruan siniin setorannya! Dari tadi gue tungguin di kantin kagak muncul-muncul!" omelku seraya menyodorkan tanganku, menagih.

Kurniaawan cuma cengengesan sambil bilang maaf. Tangannya sibuk menyodok saku celananya dan membuka isi dompetnya. Mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu, dan mengulurkannya kepadaku beserta box bekas risolnya yang ludes.

"Waduh? Abis? Sumpah demi apa?!" antusias sekali rasanya ketika risol himpunan ludes dibeli orang. Bukan masakanku sih... tapi ya senang saja rasanya.

"Beneran lah. Tadi pak Dikta beli semua sisanya. Ada kali lima belas risol lagi. Walaupun agak nyesek dia kasihanin gue karena risolnya kagak laku," Kurniawan berlagak menarik ingusnya, so sedih.

Fadlan terkekeh, sedangkan aku lagi-lagi nge-lag.

"Udah kan, Nad? Gue balik ya? Gosokan di kosan menanti soalnya," pamit Kurniawan yang aku iyakan saja walau sebenarnya setengah sadar.

Sampai kemudian aku benar-benar tersadar ketika Fadlan menepuk bahuku pelan. Matanya yang seperti almond itu menatapku ramah dengan gurat senyum yang manis.

"Setorannya udah semua? Atau masih ada yang belum bayar? Mau gue temenin?" tanya Fadlan, menawarkan diri.

Duh... Fadlan tuh idaman banget gak sih? Gentle gitu. Kalau aja aku suka sama dia, mungkin aku udah klepek-klepek dan lupa daratan.

"Enggak usah, ini udah beres semua kok. Gue mau pulang aja sih," terangku.

Fadlan mengangguk. "Ya udah ayo," katanya.

"Kemana?" tanyaku.

"Pulang."

"Hah?"

Fadlan terkekeh. Tangannya dengan ringan mengacak rambutku yang masih rapih. Kebiasan deh anggap aku anak kecil!

"Gue anterin lo pulang, mau? Udah agak sore, kalo naik angkutan umum bakal lama. Lo lupa ya lampu merah di depan itu suka macet? Mending gue aja yang anter lo balik. Gue bawa motor jadi bisa nyalip."

Banyak ngomong banget ya anak yang satu ini. Jadi sayang. Haha.. Enggak gitu, bukan sayang sebagai gebetan, tapi sayang sebagai kakak ketemu gede. Fadlan baik banget asli!

"Baik banget..." kataku, menatap dia dengan sorot mata terharu.

Sayangnya, kayaknya hari ini aku harus menolak mentah-mentah ajakan Fadlan. Soalnya tadi pak Dikta sudah lebih dulu menyuruhku untuk ikut dia jemput Naya di tempat les baletnya. Katanya, biar Naya senang, sekalian pendekatan sama anaknya.

Kurang 'dude' apa lagi duda satu anak itu, hm? Benar-benar menyebalkan.

"Sorry, ya, Fad. Bukannya nolak rejeki diajak pulang bareng sama cowok ganteng, tapi masalahnya gue masih ada urusan lagi nih abis ini," tolakku.

"Tadi katanya mau balik aja," balas Fadlan.

"Emang iya gue bilang gitu barusan?" tanyaku bingung, beneran gak ingat. Sedangkan Fadlan mengangguk lucu.

"Iyakah? Tapi beneran baru keingetan kalau gue ada urusan lain. Lain kali aja deh lo anterin gue balik. Dadah a Fadlan ganteng!"

Aku berlari menjauhi Fadlan yang masih di posisi sebelumnya. Meninggalkan dia sendirian. Gak bermaksud untuk ninggalin cogan sendiri kayak orang bego, tapi semuanya terjadi gara-gara pak Dikta!

Fix, no debat.

*****

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

udah ya sampai 'f' kan? aku lupa :(

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang