h

6.1K 377 3
                                    

"Halo, mommy. Apa kabar?"

Seusai kami berdoa, memanjatkan doa untuk ibunya Nada yang dapat ku lihat bernama Sinthia itu, Nada mulai bercerita. Nama ibunya cantik, cukup membuatku penasaran seperti apa wajah dari wanita yang membuat pak Dikta jatuh cinta dan memiliki gadis kecil semanis Nada.

"Nada dan daddy ke sini lagi hari ini. Semoga mommy baik-baik aja di surga dan gak bosan liat kami datang ke sini terus..."

Nada mengusap batu nisan ibunya. Pak Dikta maupun aku sama sekali tak ada yang membuka suara. Membiarkan Nada untuk kembali bercerita dengan ibunya.

"Mommy... Mommy masih ingat kan Nada pernah minta untuk mommy kembali? Sampai kemudian mommy temuin Nada di dalam mimpi dan bilang mommy gak akan pernah bisa bareng-bareng lagi sama Nada dan daddy..."

Nada diam sejenak. Gadis itu menunduk. Tangannya mulai aktif mencabut acak rumput gundul di atas gundukan tanah.

"Tapi Nada juga ingat, di dalam mimpi itu mommy bilang kalau mommy akan kasih pengganti mommy yang mirip sama mommy..."

"Mommy... Sekarang hadiah yang mommy bilang itu udah datang. Bunda yang mommy kirim sudah sampai bertemu Nada dan daddy,"

Nada menoleh padaku. Ada senyum manis namun sedih di bibirnya. Kemudian kembali menatap batu nisan di depannya.

"Mom, her really like you. Thanks, Mom. I miss you so bad..."

Nada tumbang. Nada menangis dan menunduk di atas gundukan makam ibunya. Aku yang lihat jadi ikutan sakit hati, sedih.

Hadiah? Hadiah yang Nada maksud itu apakah itu aku? Hah? Kok bisa?

*****

"Saya gak pernah tau kalau Nada pernah mimpikan ibunya kayak tadi."

Aku dan pak Dikta berdiri di depan pintu kamar Nada. Gadis tujuh tahun itu sudah tertidur lelap sejak di perjalanan pulang tadi. Bahkan gadis itu tertidur tanpa mau melepaskan genggamannya denganku sejak tadi. Meski sekarang bisa karena dengan pelan ku paksakan terlepas. Aku harus pulang.

Helaan napas menjadi awal responku atas pernyataan pak Dikta barusan. "Saya juga gak nyangka kalau Nada anggap saya sebagai hadiah yang dikirim ibunya."

Aku sedikit meringis dengan perasaan masih tak percaya.

Pak Dikta menoleh padaku. Dari sudut mata, aku bisa lihat kalau pak Dikta nampak seperti sedang memperhatikan. Duh! Jangan bikin salting dong!

"Tapi kalo diliat-liat kamu emang mirip sama mendiang istri saya. Nyaris kayak duplikatnya," katanya.

Aku menoleh padanya. "Duplikat apaan pak? Dikira kunci apa."

Pak Dikta gak ketawa. Oke, aku tahu ini gak jelas dan terlalu humor bapack-bapack sekali.

Ku lirik arlojiku. Sudah malam ternyata, aku harus pulang.

"Pak, udah malam. Nada juga udah tidur. Saya pamit pulang dulu," kataku.

"Saya antar," tawarnya.

"Eh gak usah!"

"Kenapa?"

"Saya bisa pulang sendiri kok. Naik ojek online."

"Ya udah."

Agak speechless sih denger jawaban pak Dikta. Aku kira dia bakal maksa-maksa buat antar aku pulang. Ya... setidaknya sebagai tanda terimakasih sudah mau menemaninya menjemput Nada pulang les.

Jangan terlalu berharap pada manusia bernama Dikta ini, Nadia!

"Kalau gitu saya pulang dulu, ya, Pak. Permisi," pamitku yang diangguki pak Dikta.

Hari yang melelahkan. Terima kasih, Tuhan.

*****

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang