u (Author POV)

4.2K 253 4
                                    

"Besok lusa kita menikah."

Kalimat tanpa bantahan itu membuat Nadia tersedak es berperisa miliknya yang ia beli di kantin tadi siang. Saat ini ia sedang berjalan menuju parkiran bersama Dikta.

"Bapak bercanda? April mop ya, Pak?" tanya Nadia dengan rasa kagetnya menatap Dikta yang tak terusik dan terus menatap ke depan.

"Ini masih bulan Maret kalau kamu lupa," Dikta tak menatap Nadia saat membalas pertanyaan gadis itu. Ia hanya sibuk pada ponselnya. Tak lama tangannya terayun menempelkan layar ponselnya ke telinga.

"Halo~ Sudah selesai belajarnya?"

Tiba-tiba intonasi suaranya berubah menjadi lembut. Nadia hanya bisa menganga dilanjut dengan decihan tanpa suara.

"Nada mau makan apa? Oh! Nada hari ini mau ikut Daddy sama Bunda ke Butik gak?"

Nadia menoleh cepat ke Dikta lagi. Menunjuk dirinya sendiri sebagai pengganti pertanyaan 'Saya? Ke Butik? Ngapain?'. Padahal percuma, Dikta juga tidak peduli.

Tak lama Dikta terkekeh manis. Beberapa kali Nadia berkedip. Nadia akui, walaupun Dikta menyebalkan, tapi pria mapan itu sangat menawan. Kalau bahasa jaman sekarangnya tuh Dikta duda keren banyak duit. HAHA.

"Oke deh! Sekarang Daddy jemput Nada bareng Bunda ya. See you, Honey!"

Tuk. Sambungan telepon pun terputus. Dikta menoleh pada Nadia yang masih menampilkan ekspresi bertanya-tanya.

"Apa?" tanya Dikta.

"Saya ke Butik mau ngapain? Saya gak ada bilang sama Bapak mau ke Butik. Saya mau pulang, mau ngerjain tugas yang Bapak kasih tadi di kelas," papar Nadia.

Dikta membenarkan posisi berdirinya. Sejak sedang menelpon tadi ia dan Nadia memang berhenti berjalan sejenak—lantas berhadapan dengan gadis bertinggi badan 160 cm itu.

"Kamu tuli, lupa ingatan, atau lagi butuh validasi?" tanya Dikta dengan kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana.

Nadia menaikan sebelah alisnya. Terlihat tidak sopan pasti kalau yang lihat orang lain, tapi mereka kan gak tahu kalau kedua manusia itu sedang berada di status enggak jelas tapi menuju halal. Agak rumit tapi semoga dapat dipahami.

"Validasi apaan maksud Bapak? Ih Bapak ribet banget tinggal jawab apa susahnya sih?!" Nadia jadi gondok sendiri.

Dikta terkekeh sedetik. Lucu menurutnya kalau Nadia sudah menggerutu seperti itu.

"Kita ke Butik hari ini buat fitting baju. Seperti yang saya katakan beberapa menit lalu, kalau besok lusa kita akan menikah," jelas Dikta yang kemudian meninggalkan Nadia sendiri yang masih berdiri di tempat.

Tunggu sebentar! Barusan Dikta ngapain? Smirk? Dan... gila itu orang! Ngapain nge-wink?!

Nadia menatap rival punggung Dikta.

"Dia bahkan ngomong menikah pas masih di area kampus. Bisa aja kan ada yang denger?! Dia apa enggak takut dijadiin bahan berita mading dengan headline 'Seorang duda anak satu berkepala 3 menikahi paksa seorang mahasiswi semester 6. Begini tanggapan rektor!'?! Cih!"

Usai menggerutu, Nadia melangkahkan kakinya menuju mobil Dikta. Sambil menyedot minumannya, Nadia terus mengomel dalam hati.

"Nad!"

Tiba-tiba ada yang memanggilnya dari arah Barat. Itu Fadlan—si ganteng.

Nadia melambaikan tangannya yang dibalas lelaki itu juga. Lantas di belakangnya disusul muncul gadis berrambut warna madu. Membawa baki risol seperti biasa. Pinkan dan si julid Aldo di sampingnya—tengah berlari.

"NADIA BALIK SEKRE WOY! LO BELUM NAGIHIN DUIT RISOL!" teriak Pinkan.

Nadia melotot. Ia baru ingat tugasnya kuliah kan bukan cuma belajar dan mengabdi pada kampus, melainkan menjadi rentenir risol juga. Tapi maaf teman-teman, kali ini Nadia sangat malas menaikan tensi darahnya buat nagih duit risol. Alhasil Nadia berlari kencang menghindar, masuk ke dalam mobil pak Dikta yang sudah menyala sedari tadi.

Ya, betul. Pak Dikta menyaksikan tingkah konyol calon istrinya itu.

"Apa Bapak liat-liat?! Udah cepetan jalan, Pak!" galak Nadia.

"Agak ngelunjak ya..." gumam Dikta tapi tetap menuruti.

Sedangkan di sisi lain, tepatnya sisi Pinkan, Aldo, dan Fadlan, mereka terheran-heran memandangi pemandangan aneh siang ini.

"Kok..." – Aldo

"Gue gak salah liat kan, ya?" sambung Pinkan masih denial.

Sedangkan Fadlan, lelaki itu hanya menatap lurus mobil Dikta yang kini telah menghilang tertelan gerbang kampus yang tertutup kembali.

*****

Next chapter on progress...

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang