r (Author POV)

4.4K 264 4
                                    

"Jadi bapak kapan mau nikah sama saya?"

Nadia bertanya seperti itu dengan tiba-tiba. Membuat Dikta yang sedang mengunyah makannya jadi tersedak. Dengan segera ia meraih gelas minumnya. Meneguk air untuk membasahi kerongkongannya yang tersendat. Lantas menatap Nadia yang tengah asik mengunyah sambil menatapnya polos.

"Kenapa, Pak?" tanya Nadia lagi.

Dikta berdeham. Menetralkan kembali sikapnya.

"Kenapa kamu mendadak nanya begitu?" Dikta berbalik bertanya.

"Ya nanya aja. Mastiin. Besok juga boleh," celetuk Nadia. Lantas kembali fokus pada makanannya.

Dikta menatap heran pada gadis 20 tahunan itu. Benar-benar tak habis pikir. Isi kepala dan hati gadis itu benar-benar tak terbaca olehnya.

"Oke."

Dikta mengiyakan. Spontan membuat Nadia menoleh pada pria itu dengan matanya yang melotot.

"Heh?! Serius?!" katanya yang hanya dibalas anggukan singkat oleh Dikta.

*****

"Meja nomor 17," kata Dikta pada seseorang di seberang telepon. Lantas menutup sambungannya setelah ia bertatapan dengan seseorang yang hendak ia temui itu.

Esther.

Dengan senyum manis dan tampilan yang elegan, Esther duduk berhadapan dengan Dikta yang memasang wajah serius.

"Kenapa, Dikta?" tanya Esther to the point.

Dikta menghela napas panjang.

"Esther, i wanna tell you something," kata Dikta.

"Okay. Tentang apa?" tanya Esther masih terlihat tenang dan santai.

"About our relationship," balas pria berjas hitam itu.

Esther menghembuskan napas berat. "Dikta, kita udah pernah bahas ini. Aku belum mau menikah. Lagi pula Nada masih belum bisa terima aku, kita masih butuh banyak waktu buat bikin Nada nyaman sama aku. You know that, right?"

"Yes, i really know. Salah satu alasan kenapa Nada gak bisa deket sama kamu ya karena kamu selalu kasih jarak yang jauh sama dia. Setiap ketemu kamu selalu gak fokus sama dia, sama aku. Kamu selalu fokus sama apa yang buat kamu seneng aja. Belanja pake duitku misal."

Dikta tersenyum miris. Tatapannya sempit menatap tepat pada mata Esther yang membulat.

"Enggak gitu, Dikta. Aku udah melakukan semaksimal mungkin buat dekat sama anak kamu," elak Esther.

Dikta mengangguk mengiyakan saja.

"Esther, i think, kita akhiri aja hubungan kita. Aku gak bisa sama kamu terus kalau kayak gini melulu. Aku punya anak, aku juga udah gak muda lagi, thats why aku cari pasangan buat dijadiin istri bukan cuma buat main-main..."

"Esther, thank you for everything. Kita putus, aku mau menikah," Dikta mengatakan apa yang sudah ia pikiran sejak belakangan ini. Mengganggunya setiap hari hingga tak dapat tertidur pulas.

Dikta sayang Esther, tapi nampaknya Esther tidak.

Esther menghela napas berat. "Oke kalau itu keputusan kamu, kita putus. Dan untuk siapapun yang hendak kamu nikahi, untuk pernikahan kalian aku ucapkan selamat ya. Aku harap kalian langgeng."

"Terimakasih, Esther."

Kring! Kring!

Dering ponsel Dikta mengalihkan atensinya. Pria itu merogoh ponselnya, menampilkan nama putrinya di sana. Menyambungkan sambungan telepon.

Baru saja Dikta membuka mulutnya, wajahnya nampak cerah tak sekusut sebelumnya. Namun suara di seberang sana membuatnya pasi.

"Daddy, Bunda pingsan di kamar mandi!"

*****

Next chapter on progress....

kalau ada kesalahan penulisan mohon maaf ya. koreksi juga boleh 🙏
makasih udah mampir dan stay with me ya all ❣

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang