m

5.6K 334 3
                                    

haloo-!
lgsg aja gak perlu byk pembukaan.
pemberitahuan aja sii, seperti yg kalian tau belakangan ini aku slow update. dan info aja sii kalo sekarang aku updatenya bakal jarang banget karna aku mau ujian. (*depressed*)
minta doanya aja, semoga ujianku lancar dan hasilnya memuaskan sesuai dengan yg aku harapkan. at least aku bisa update chap baru kalo ujianku udh selesai dan moodku bagus pas liat hasilnya >_<

anyway, terimakasih orang baik yg udh mau sempetin doain ujian aku dapet hasil yg bagus. semoga doa baiknya berbalik ke kalian-! aamiin.





*****

Keesokan harinya, dengan segenap keberanian yang aku punya, aku pergi ke rumah sakit. Memeriksakan kondisiku yang semakin hari semakin terasa ringkih. Hari ini aku gak ada kelas. Syukurnya aku libur.

Dan ya... Sekarang aku sedang duduk berhadapan dengan dokternya langsung. Kedua telapak tangan dan kakiku sudah mulai terasa dingin. Kalian tahu? Aku suka aroma rumah sakit, tapi dalam waktu yang bersamaan aku juga takut divonis yang macam-macam.

Ku lihat dokter itu menghela napas. Lantas menatapku dengan tatapan yang sulit ku jelaskan.

"Jadi gimana ya, Dok? Saya maagnya kambuh lagi, ya?" tanyaku, mengawali.

Dokter itu diam sejenak. Sampai kemudian ia membuka suara.

"Nadia, saya tau kamu itu kuat, kamu itu hebat. Saya tau dan saya harap kamu bisa lewatin masa-masa sulit yang ada di depan kamu..."

Aku mengerenyitkan dahi. Kalimat dokternya beneran bikin aku gak paham. Maksudnya apa? Kuat? Hebat? Hah? Jangan bilang aku kena mental ya? Aku bipolar? Tapi masa iya. Gak nyambung banget sama ciri-ciri yang aku alami.

"Iya, Dok, saya tau saya kuat. Ini nih dua bahu saya aja kuat banget nopang harapan keluarga," kataku, menepuk kedua bahuku sendiri.

Dokternya ketawa. Entah ngetawain jokesku yang gak lucu, atau ketawa miris.

"Nadia, kamu dinyatakan mengidap glioblastoma," kata dokternya.

Untuk beberapa detik aku terdiam. Jantungku seperti tertembak dan nyawaku ditarik sebentar dari ragaku.

Apa katanya? Glioblastoma?

"Kamu gak usah khawatir, kamu bisa sembuh kalau kamu mau rutin berobat. Saya jamin kamu bisa lewatin ini semua," dokter cantik yang aku kenal bernama Afifah itu menggenggam tanganku yang dingin di atas meja. Genggamannya menyadarkanku ke dunia nyata.

"Kanker otak, Dok, maksudnya?" tanyaku terpatah-patah. Masih gak nyangka kalau ternyata aku sakit parah.

"Iya, kamu bisa sebut begitu."

Mau nangis. Kok aku kecewa ya sama hasilnya? Kok aku kecewa ya sama diriku sendiri? Aku gak bisa jaga diriku sendiri, aku gagal.

"Nadia, dengar saya! Kita coba pengobatan yang terbaik dari rumah sakit, ya? Saya yakin kamu bisa sembuh," dokter Afifah masih terus genggam tanganku.

Aku menatapnya. Memaksakan tersenyum padahal mataku sudah berair. Satu kali kedip saja pasti airmata jatuh dari mataku.

"Kira-kira... berapa lama lagi ya saya bisa hidup?" tanyaku.

Kendengaran putus asa gak sih? Tapi aku mau terdengar baik-baik aja.

"Saya gak bisa jamin berapa lama kamu bisa bertahan kalau tanpa tindakan lanjut. Tapi dari beberapa pasien yang pernah mengalami ini juga, dapat disimpulkan bahwa pengidap glioblastoma dapat bertahan hidup selama 3 bulan sampai satu tahun. Semuanya balik lagi ke imun tubuh tiap individu..."

Dokternya tatap aku lagi. Lihat deh matanya, tatapannya lihat aku kayak lagi mengiba. Aku benar-benar gak suka tatapan itu.

"Kamu gak usah takut, gak semuanya kayak gitu kok. Ada banyak orang yang mengidap penyakit ini dan mereka sembuh. Saya yakin kamu termasuk ke bagiannya!"

Aku terkekeh. Tidak bisa yakin untuk mengiyakan. Tahu gak? Aku takut. Bukan takut mati, tapi takut menyulitkan orang-orang di sekitarku dan meninggalkan kesedihan selepas aku tinggal nanti.

"Kamu mau kan berobat? Kemoterapi? Semua pengobatan supaya kamu bisa sembuh," tanya dokter Afifah, menawarkan.

Tuhan, aku harus apa sekarang? Aku benar-benar tak punya semangat hidup.

*****

to be continued.

jangan lupa vote dan komentarnya ya~

sorry kalo ada kesalahan typing-!

Beloved StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang