Desember 2000
Satu hari setelah kami menempati kontrakan, keesokan paginya saya merasa seperti mengulang saat hari dimana saya dan Pijar tidur di serambi masjid kala itu. Ketika saya bangun, Pijar sudah duduk dan nampaknya sudah membasuh mukanya. Dia tersenyum pada saya, dan menggerakkan tangannya seoalah menyuruh saya untuk segera membasuh wajah.
Alih-alih langsung bangun, saya lagi-lagi menatap Pijar dengan dalam.
Gadis Tangguh itu mengangkat dagunya sedikit seakan menanyakan mengapa saya menatapnya, saya hanya geleng-geleng kecil dan mengusap kepalanya, kemudian beranjak bebersih.
Setelah selesai, saya tidak mendapati Pijar di ruang tamu, tapi dia sudah terlihat berada di teras. Tepat ketika dia menyadari keberadaan saya, dia tiba-tiba menarik saya dan menunjuk pedagang yang berjualan tak jauh dari komplek kami. Nampak sebuah pedagang nasi bungkus, jajan gorengan dan juga nasi kuning.
“Kamu mau sarapan?” Pijar menggeleng, lalu menggerakkan tangannya menunjuk dirinya kemudian menunjuk saya.
“Kita harus sarapan, benar?” kali ini dia mengangguk senang.
“Kamu tunggu di teras, saya akan membelinya sebentar,” saya segera menuju pedagang yang terlihat ramai oleh ibu-ibu komplek. Dulu, hal seperti ini tidak pernah saya lakukan.
Jika disuruh Ibu untuk membeli sayur, tentu saja saya malu karena saya seorang bujang. Tetapi kali ini, saya harus. Saya tidak malu lagi, apalagi karena Pijar nampak antusias menunggu sarapannya di sana.
“Eh, ini mas-mas yang ngontrak di rumah tantenya mbak Beva ya?” saya terkejut ketika ada salah satu seorang ibu bertanya pada saya. Padahal saya baru saja pindah kemarin malam, tetapi nampaknya kepindahan saya sudah terdeteksi oleh masyarakat di komplek ini.
“Iya bu,” jawab saya dengan sopan. Saya tidak berniat melanjutkan percakapan atau kembali melempar pertanyaan hanya untuk sekadar basa-bas, jadi setelah itu saya diam. Saya hanya membeli dua bungkus rames, gorengan 2000, dan juga teh manis yang sudah dibungkus dalam plastik. Sambil menunggu kembalian, lagi-lagi ada seorang ibu yang bertanya.
Tetapi pertanyaan kali ini membuat saya tidak suka.
“Mas, adiknya itu emang sering mengeluarkan bunyi-bunyi aneh ya? emm anak umur 5 tahun, masih kesulitan bicara mas?”
Saya selalu sebal dengan pertanyaan yang merujuk pada topik kecacatan Pijar. Bukankah untuk mengetahui bahwa Pijar istimewa tidak harus dengan pengumuman bahwa dia tidak bisa bicara? Seharusnya hal itu sudah dipahami kan?
“Dia spesial,” jawab saya agak ketus, sejujurnya andaikan saya tidak memikirkan uang receh kembalian rasanya saya ingin segera pergi.
“Mas, gak mau disekolahin di SLB mas?”
nah, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan itu nampaknya tidak pernah habis dipikirkan oleh ibu-ibu komplek.
Mereka selalu mencari celah pertanyaan meski sebenarnya pertanyaan itu sudah menjurus ke hal yang bersifat pribadi.
“Dia belum sekolah bu,” jawab saya masih sabar akhirnya.
“Kenapa? Dia kan sudah umur 5 tahunan mungkin.”
Saya tidak mengerti, tetapi omongan ibu itu membuat saya sadar, bahwa saya belum memikirkan perihal pendidikan Pijar. Tetapi saya tidak suka, seakan-akan saya tidak mengurus Pijar. Saya menghela nafas kecil sebelum beranjak dan pamit dengan lagak sopan.
Saya meletakan makanan dengan agak kasar, dan saya tidak sadar bahwa Pijar terkejut. Setelahnya saya segara sadar dan menuntun Pijar untuk masuk saja.
“Ha. Da aha ha?” tanyanya yang nampak penasaran dengan sikap saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
Fiksi UmumSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...