Hari Suram yang Tak berkesudahan
Akhirnya aku bisa membaca kembali surat dari Bang Zero. Surat yang di tulis dengan penuh cerita pilu ini mungkin lelaki dewasa itu tulis dengan senyuman, dengan sebuah kelegaan bahwa dia bisa menyampaikan apapun untuk putrinya. Lelaki itu masih sama bukan? Masih selalu merasa bahwa dirinya adalah manusia malang, manusia pecundang yang bertemu dengan bocah keriting bernama Pijar? Padahal ingin sekali aku menceritakan bahwa ada orang-orang yang menunguinya pulang, ada orang yang selalu bercerita tentang kebaikannya, ada orang yang selalu menangisinya, ada banyak orang yang mendoakannya. Dia harus tahu bahwa dia pernah begitu dicintai, bahwa dia pernah begitu kami kagumi. Dia harus tahu bahwa takdir yang dia bicarakan tak baik, justru sekarang begitu baik. Dia harus tahu semua kebahagiaan ini seharusnya. Tetapi kenyataanya adalah dia terlalu jahat, dia terlalu egois karena meninggalkan kami, dia terlalu menyebalkan karena mengambil beban seberat itu selama ini, tanpa memberitahuku. Lelaki itu begitu brengsek! Mengapa harus manusia seperti dia yang mengalami hal seperti ini!
"Maafkan aku Surya," lagi-lagi Tante Omera meminta maaf. Setelah apa yang telah ku ucapkan tempo hari, dan setelah perempuan itu membaca surat kematian ini sekali lagi. Akhirnya dia menyadari, bahwa Bang Zero sudah tiada.
"Pijar harus bisa sembuh dulu, dia pasti begitu sedih,"
"Aku akan mengasuhnya," katanya sambil memeluk surat dari Bang Zero.
"Bukan itu, membuat Pijar seolah lupa akan ayahnya juga tidak dibenarkan. Kita harus bisa membuatnya menerima. Meski hakikatnya kita juga belum menerima kedukaan ini,"
Percakapan yang entah hari apa saat itu benar-benar membuat kami kewalahan, hari-hari seolah-olah menjadi semakin kelam, semakin tidak ada harapan bahwa hari bahagia bisa kami raih kembali.
Kesedihan kami selalu dimulai Pijar dengan baju-baju yang dia siapkan, lalu seakan-akan tidak merasa aneh dia menyiapkan juga sepatu yang biasa dipakai Bang Zero. Tiada hari tanpa bagaimana Pijar menciptakan bayangan ayahnya seolah ada di sampingnya, seolah masih bisa dia jangkau.
Pernah suatu hari aku tersentak dengan keberanian Tante Omera yang menegur Pijar. Seolah kalimat dari wanita itu tengah menegaskan bahwa kekeliruan yang Pijar jalani harus dia luruskan. Mungkin sudah 1 bulan setelah kabar kematian Bang Zero kami ketahui, baru kali ini aku menyadari bahwa cara untuk membuat Pijar mengikhlaskan adalah dengan menyadarkannya terlebih dahulu. Menyadarkan bahwa kenyataan itu memang ada dan bukanlah sebuah gurauan. Saat itu tidak ada yang kembali memulai percakapan, kami makan dengan tenang.
Hari berikutnya sama, Pijar masih menyiapkan sepatu bang Zero. Dan kembali di tegur oleh Tante Omera. Masih sama, masih sama ketika pada akhirnya setiap malam aku mendengar isak tangis dari kamarnya, masih sama ketika setiap pagi aku melihatnya menyiapkan sepatu kerja ayahnya, dan masih sama ketika dia menatap televisi dengan acara yang sering dia tonton bersama ayahnya.
Sampai suatu malam aku memasuki kamarnya, dan menemukan sebuah diari. Sebuah tempat dimana gadis itu biasanya menuliskan perasaannya. Ini lancang, tapi aku benar-benar membukanya dan membaca acak lembar disana.
Aku begitu bahagia, ayah menggunakan baju baru yang kubelikan. Sebenarnya aku selalu ingin ayah memakai baju bagus, tapi ayah selalu menolak dengan dalih tak pantas. Tetapi hari ini aku bahagia, melihat ayah menggunakan baju yang kubelikan untuk ke acara perpisahanku. Ayah terlihat tampan, apalagi saat dia tadi menatapku bermain piano. Kupikir ayah benar-benar menyukai penampilanku hari in.
Tulisan itu membuatku kembali mengingat bagaimana lelaki dewasa itu begitu gugup untuk berhadapan dengan banyak orang saat di acara perpisahan. Apalagi dia begitu merasa tidak percaya diri dengan penampilannya, mengingat wajah gugupnya saat itu tiba-tiba membuatku terkekeh. Terkekeh pilu lebih tepatnya. Lelaki yang tidak pernah percaya akan kehebatan dirinya itu membuatku rindu. Sangat rindu.
Aku kembali membuka halaman lain,
Ayah. Sepertinya aku tertarik dengan Kak Surya. Ayah marah gak ya kalau aku pacaran sama Kak Surya.
Ingatanku tentang pemuda itu kini bergulir pada wajah sangar dan tatapan mengintimidasi saat aku mengatakan menyukai Pijar. Jiwa-jiwa sosok ayah muncul dalam tatapanya kala itu. Dan di hari itu, dia juga membuatku berjanji bahwa apapun yang akan terjadi, aku harus berada di samping Pijar. Aku menepatinya bang! Sampai saat ini aku masih di samping Pijar! Teriakku dalam hati.
Ayah, ayah kapan pulang. Pijar gak akan diemin ayah lagi. Pijar gak akan minta ayah buat benerin antenna lagi kok. Pijar akan masak makanan kesukaan ayah. Jadi ayo pulang!
Lembaran itu kembali meneriakkan kesukaran hidup yang dia hadapi, gadis itu begitu menyayangi ayahnya. Begitu merindukan sosok lelaki itu datang kembali padanya.
Ayah, Pijar ingin pergi dengan ayah. Tolong jemput Pijar.
Kalimat terakhir yangada di halaman buku itu membuatku menegang dan merinding. Aku tidak siap untukkehilangan lagi, aku tidak bisa membiarkan Pijar pergi. aku akan egois, akuharus bisa menahan Pijar untuk mengatakan bahwa sekali lagi dia harus kuat. Diaharus bertahan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
Художественная прозаSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...