Akhir tahun 2009
Sudah memasuki tahun ke-entah sekian saya bersama Pijar bisa bertahan.
Sekolah Pijar juga sudah menginjak semester akhir di kelas 2 SMP. Saat itu di akhir tahun, saya, Pijar dan Surya pergi ke alun-alun kota. Sekadar melihat dan menikmati perayaan-perayaan orang yang menganggap awal tahun sebagai sebuah lembar baru dalam hidupnya.
Padahal tak jarang perayaan itu terjadi beriringan dengan rasa ambisi yang tak kunjung dinyatakan. Justru mereka hanya akan terlihat mendoakan hal sia-sia berkepanjangan, apakah ambisi yang mereka buat di akhir tahun itu semua mereka usahakan? Saya tidak tahu, tapi menurut saya tidak.
“Bang, saya mau minta uang gaji nanti di awal Januari. Setelah itu saya tetap akan bekerja untuk sebulan kedepan kok,” saya yang sedang memakan jagung bakar bersama Pijar, menoleh ketika Surya berkata demikian.
Saya cukup heran dengan kehidupan Surya yang memang begitu tertutup, saya hanya sesekali melihat Surya yang tiba-tiba dijemput sebuah mobil yang saya kira itu adalah ayahnya. Tetapi setiap dia pergi dengan mobil berwarna merah itu, paginya pasti dia babak belur.
Saya hanya sesekali menyuruh dia mengobati tanpa mau bertanya apa yang terjadi. Begitu, saya awalnya tidak ingin mengerti meski sebenarnya saya juga agak ngilu melihat lebam-lebam yang selalu Surya dapatkan itu. Tidak setiap hari memang, tetapi bekas yang begitu lama hilang itu menandakan betapa kerasnya hantaman yang diterima Surya. Dan keadaan itu hampir menjadi agenda mingguan yang Surya dapatkan. Entah hal mengerikan apa yang Surya dapatkan di rumahnya, saya selalu mengubur keinginan saya untuk bertanya padanya.
Tetapi malam tahun baru itu, saya ingin tahu, ingin Surya menceritakan apa yang terjadi padanya. Meski saya tidak akan membantu lebih, setidaknya saya dapat merawatnya dengan baik selama dia tinggal di bengkel. Hanya itu.
“Iya, boleh”
Kami kemudian terdiam dan memandangi lalu lalang orang-orang lagi.
“Saya sebenarnya ingin menanyakan kehidupanmu Surya, kadang saya ingin tahu mengapa kamu datang dengan luka lebam. Tapi saya tidak ingin kamu merasa tidak nyaman. Jujur saya emm khawatir padamu,” jelas saya sebab tak tahan lagi pada akhirnya. Pijar pun yang tengah mengunyah jagung bakar, memelankan kunyahannya dan menatap saya.
Sedangkan Surya nampaknya sedang merenungi perkataan saya. Lelaki berambut ikal itu menipiskan bibir, menatap jam di pergelangan tangannya. Kemudian berucap,
“Hampir pergantian tahun, 5 , 4 , 3 , 2, 1 “ jawabnya tak nyambung yang kemudian bertepatan dengan meletusnya kembang api di langit. Kembang api itu saling bersahutan dan juga pekikan terompet serta teriakan yang saling menggema meneriakan ‘Selamat Tahun Baru!’ langit begitu terang, sesuatu yang meledak dengan indah di atas saya tidak sepenuhnya membuat saya bahagia.
Hari-hari sudah berjalan dengan cepat, tahun berganti seiring dengan kenangan di dalamnya, suasana ini justru membuat saya sedih, entah karena apa.
Sejenak kami bertiga seperti tersesat diantara ribuan riuh tepuk tangan konyol, seperti sebuah lawakan tentang betapa menyenangkannya hidup. Dan kami adalah makhluk asing yang sepertinya tidak pernah bisa menikmati moment ini. Tidak tahu akan mendoakan keinginan seperti apa untuk tahun depan, tidak ikut bertepuk riuh dengan kehilangannya kenangan, semua nampak kosong bagi saya. Namun, tepat ketika kepala saya menoleh ke arah Pijar, saya melihat doa saya secepat itu menjadi nyata, ada seorang gadis yang telah beranjak besar, yang menjadi alasan sederhana saya hidup lebih lama dan kini dia terlihat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
General FictionSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...