Menelusuri Ayah Zero Lagi

175 30 3
                                    

Menelusuri Ayah Zero Lagi

Pernah berharap ketika mata ini terbangun dari lelapnya mimpi, aku masih menjadi bocah cilik keriting yang akan masuk sekolah. Lalu dari dapur akan terdengar dentingan seseorang yang sedang memasak, lalu aku bangun dengan masih mengumpulkan kesadaran diri sambil berjalan kearah dapur dengan masih mengucek mata. Kemudia aku melihat bayangan seorang lelaki yang membelakangi pintu dapur yang sedang memasak. Lalu ketika berbalik, lelaki yang kupanggil ayah itu akan mendekat sambil tersenyum lalu berkata seperti pagi-pagi yang biasa.

"Hari ini saya yang akan mengantarmu, saya asudah masak mie goreng nih" meski pada akhirnya dia akan melarangku untuk memakan mi instan itu ketika dia tidak sengaja membaca bahayanya orang yang sering memakan mie instan. Aku terkekeh mengingat hari-hari baik yang dijalani kami bersama. Manusia seperti ayah tidak memiliki ambisi untuk menguasai dunia atau meminta hal-hal yang mungkin manusia lain selalu inginkan. Setiap malam ayah selalu bilang, "Syukur ya Pijar, besok kita masih punya uang untuk beli rames buat sarapan" , atau kadang dia akan mengatakan "Kamu butuh alat sekolah lain tidak? Lumayan bengkel tadi ramai". Percakapan yang mungkin bagi sebagaian orang hanya celotehan dari seorang pemuda yang dipaksa menjadi dewasa karena menanggung anak orang lain. Ayah tidak sepecundang itu. Mengapa kalimat 'pecundang' selalu membayangiku setiap kali mengingat ayah selalu menganggap dirinya tidak bisa merawatku dengan baik?

Dengan kesadaran yang sudah mulai penuh dan lamunan yang sudah mulai ramai di kepala tentang ayah, aku bangun dari tempat tidur. tibanya di depan ruang depan, aku menemukan sarapan nasi rames biasa dan note yang bertuliskan

Sarapan dulu sama Surya, Tante akan pulang sebentar. Cari ayahmu agak siangan ya. Jangan sedih terus!

AKu meletakan note itu lalu menuju ke kamar mandi, setelah membasuh muka baru aku akan membangunkan Kak Surya yang pasti masih tidur di kamar bengkelnya.

**

"Mau nambah?"

Aku menggeleng lemah saat Kak Surya menawariku, kami memakan sarapan kami dengan tenang. Yang kemudian hanya direspon dengan anggukan kecil dari Kak Surya.

"Aku akan membuka bengkel dahulu, lumayan sampai nanti siang sebelum pergi barangkali datang pelanggan," Selama kepergian ayah, bengkel sudah menjadi tanggung jawab Kak Surya sepenuhnya. Pemuda itu memang begitu niat dan juga bertanggung jawab atas pekerjaannya. Maka aku membiarkannya pergi.

Dan aku makan sendiri.

Aku tidak pernah merasakan sesedih ini menatap nasi bungkus yang mengingatkanku pada ayah, makanan sehari-hari kami ini rasanya tidak pernah bosan untuk dirasakan. Kenangan bersama ayah tidak banyak, hanya dari segelas air putih, dan bungkus nasi yang berisi sayur kacang. Kadang kenangan itu juga datang dari pojok-pojok ruangan, atau mengintip lewat jendela seakan mengatakan bahwa hal yang dikenang tidak selalu kejadian besar. Sebab dengan perpisahan, nyatanya kenangan dari sekecil apapun akan selalu mudah dijumpai. Karena kenangan itu bersemayam jauh dalam hati manusia, ia mendekam di dalamnya, seakan tak ingin muncul dan membiarkan dirinya semakin besar tumbuh didalam. Meski akhirnya nanti ia akan muncul ke permukaan, ia akan menjelma harapan yang tidak pernah bisa digapai orang-orang.

Begitulah manusia menyebutnya dengan kenangan.

"Sepertinya aku tidak akan sering meninggalkanmu sendiri Pijar, kau selalu terlihat melamun jika sedang sendirian," Kak Surya yang telah selesai membuka bengkel datang sambil berucap padaku. Aku hanya tersenyum lalu perlahan memasukan sesuap nasi kedalam mulutku lagi.

"Makan yang banyak, biar kamu punya semangat yang kuat" katanya yang sebenarnya tidak nyambung. Aku tersenyum saja untuk menghormati candaan Kak Surya. Sebab bagaimanpun, orang-orang seperti Kak Surya lah yang sekarang aku butuhkan. Orang yang mampu berperan sebagai obat.

"Kalian sudah selesai makan?" Suara Tante Omera terdengar saat dia memasuki rumah. Wanita dewasa itu sudah berganti pakaian nampaknya. Wajahnya juga sudah cukup segar.

"Kalian berangkatlah dulu, aku akan menemui temanku untuk meminta tolong menjaga bengkel." Jelas kak surya yang langsung kuhadiahi tatapan protes karena dia tidak ikut berangkat bersama. Bagaimana jika dia tidak menepati janjinya? Bagaimana jika dia juga pergi seperti ayah, bagaimana jika dia tidak bisa bertemu lagi dengan.....

"Pijar, aku akan menemuimu. Jangan takut" katanya yang seolah mengerti pikiranku. Aku hanya menunduk, membiarkan Kak Surya mendekat dan memelukku.

"Jangan terlalu jahat kepada pikiranmu sendiri, biarkan dia memikirkan hal-hal yang menyenangkan." Katanya sambil mengusap rambutku pelan

"Iya Pijar, lagipula mana mungkin Surya meninggalkanmu. Dia terlalu cinta dan sayang padamu." Kata Tante Omera yang membuatku agak tersentak dan bepikir,

Jadi, apakah ayah tidak meyayangiku sehingga ia pergi?

**

Hari ini kami menuju ke warnet tempat ayah dulu bekerja, setelah meyakinkanku bahwa Kak Surya akan menyusul, aku akhirnya mau pergi tanpa dia. Dan sekarang aku hanya bersama Tante Omera untuk mengunjungi tempat tujuan kami.

"Permisi,"

"Iya, gimana tante? Ada yang bisa saya bantu"

"Saya ingin menanyakan tentang mantan pegawai yang pernah bekerja disini apakah disini ada senior yang sudah lama bekerja?" Tanya Tante Omera yang kemudian kami dipersilahkan untuk duduk dan menunggu seseorang yang sedang dipanggil.

"Selamat siang, ada apa ya mbak?" Tanya seorang lelaki dengan rambut gondrong dan juga wajah yang tirus.

"Perkenalan kami dari keluargnya Zero, kami mau menanyakan beberapa hal tentang Zero yang dulu bekerja disini. Apakah diperbolehkan?" Lelaki itu nampak terkjeut saat mendengar penjelasan Tante Omera, terlebihnya lagi saat ia menatapku yang kemudian tersenyum dengan bahagia entah kenapa.

"Saya mau bertanya, sebelumnya maaf, apakah ini yang Namanya Pijar? Putrinya Bang Zero?"

Aku dan Tante Omera sempat bersitatap dan akhirnya kujawab dengan anggukan.

"Oh tuhan, aku akhirnya bisa berjumpa dengan putri Zero." Katanya yang kemudian langsung mengambil tempat duduk berhadapan dengan kami.

"Apa yang bisa kubantu untuk kesayangan Zero?"

Aku terkesan, tetapi justru aku juga merasakan sesak yang dalam mendegar perkataannya. Apakah ayah begitu bahagia memiliki putri cacat sepertiku, hingga orang-orang yang berhubungan dengannya selalu mengenaliku?

"Sebelum kami kesini ingin menanyakan apakah minggu-minggu terakhir ini ada hari dimana Zero datang kesini? Karena sudah beberapa hari dia hilang tanpa kabar" jelas Tante Omera langsung. Lelaki gondrong iku terkejut bukan main. Dia kemudian seperti mengingat hari-hari belakangan apakah ayah memang pernah mengunjunginya atau tidak.

"Ya, sekitar 2 minggu yang lalu, aku bertemu dengannya."

Oh tuhan, kalimat ini rasanya ingin membuatku menangis. Aku benar-benar merasa bahwa akan ada titik terang keberadaan ayah. 

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang