Gadis yang Bunuh Diri
Kemarahan Pijar saat itu membuatku dan Tante Omera terdiam. Dia sekan-akan meneriakan kesukaran hidupnya yang dia gambarkan dengan gumpalan kertas yang dia sobek dari buku-buku di kamarnya.
"Pijar, kumohon berhenti!" Teriak tante Omera semakin menjadi-jadi.
"Pijar!" Gadis itu seakan tidak mengendahkan teriakan kami. Dia justru semakin tidak terkendali, dia menuju kamar Bang Zero dan menguncinya dari dalam. Aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan di dalam, tetapi suara tangisan itu membuatku takut. Takut akan kalimat terakhir yang dia tuliskan di buku diarinya.
"Pijar..."
Tangisan itu bukan sahutan, tetapi mendengar dia masih bersuara aku agak lega,
"Pijar sayang kan sama ayah?" dengan berat hati aku membiarkan Tante Omera yang sedang membujuknya. Aku hanya dia duduk di depan pintu kamar dengan menundukan kepala dalam-dalam.
"Pijar ingat kan kata ayah, kalau Pijar gak boleh menangisi kenyataan itu."
"Pijar sadar kan, kalau ayah, tante omera, kak surya begitu menyayangi Pijar? ayah pasti bangga banget punya putri kaya Pijar"
"Kalaupun Pijar sakit, silahkan luapkan sekarang. Setelah itu ikhlaskan. Ayah tidak akan pernah senang melihat putrinya seperti ini kan?"
Suara isak tangis itu masih terdengar, dengan harapan-harapan yang diam-diam ku rapalkan pada Tuhan. Melunturkan egoku untuk mengemis pada Dzatnya, untuk mengatakan bawalah kami pada kebahagiaan-Nya lagi, bawalah kami pada terang hidup lagi.
"Pijar, tante tahu, rasanya begitu sesak kan? begitu menyakitkankan? Rasanya begitu sedih. Tapi bukankah Ayah gak mau putrinya sedih, Ayah Zero mau putrinya ikhlas."
"Bukankah Ayah bilang Pijar harus seneng terus kan? Pijar gak mau bikin ayah sedih disana kan?"
"Pijar punya doa ayah, punya surat ayah, punya rekaman ayah. Ayah selalu ada disini, selalu ada bersama putrinya, selalu bersama Pijar dalam hati Pijar, sejatinya ayah tidak pergi. ayah Zero masih selalu bersama putrinya. Dimanapun dan kapanpun itu Pijar," Isak tangis Pijar terdengar melemah, aku begitu takut jika terjadi seuatu di dalam. Hingga ketika aku akan membuka pintu, aku masih di tahan tante omera.
"Pijar, tante dan surya begitu menyayangimu"
Sesaat tidak ada sahutan hingga sebuah pintu yang tiba-tiba terbuka dan Pijar yang menghambur ke pelukan Tante Omera. Gadis malang itu kembali terisak dan memukul dadanya sendiri. Setelah tenang ia menatapku dan juag menghambur kepelukanku.
"Bang Zero pasti bangga banget punya kamu," kataku yang kemudian disusul dengan tangisan haru Tante Omera.
Tuhan, kau begitu cepat mengabulkan doa manusia malang ya.
**
Hari-hari baik perlahan mulai datang, kami mulai menata kembali hal-hal pada hari-hari kami. Sedikit demi sedikit rumah kami juga direnovasi. Tanpa harus menghilangkan barang-barang bang Zero, kami memiliki ruangan khusus menata baju-baju dan segala peralatan milik manusia baik itu.
Kesukaran itu akhirnya menemukan kebosanan dalam hidup kami, hingga perlahan kami merasakan seperti ada pijar surya yang mulai kembali menerangi kekosongan hati dan hari. Tidak terlalu mencolok , tetapi cukup menyadari bahwa di setiap hatiku, Pijar dan Tante Omera ada keikhlasan. Itu cukup membuatku merasa bahwa, kami berhasil bangkit kembali. Meski masih terlihat kedukaan itu dalam matanya, kadang masih melihat bagaimana dia menciumi seluruh pakaian ayahnya, tetapi aku begitu menerimanya. Aku menerima kedukaan itu dalam hidupnya, aku menerima Pijar, segala hal tentang gadis itu. Aku menerimanya,
Saat itu, aku dan Pijar memang berniat berjalan-jalan, sekadar menikmati suasana sore yang terang. Lama momen ini tidak ada dalam hidup kami, setelah kepergian bang Zero rasanya kedukaan itu memang masih terpaku, tetapi surat darinya lagi-lagi mengingatkan kami bahwa kami masih mempunyai kesempatan hidup lebih lama.
Aku agak tersentak ketika genggaman tangan Pijar terlepas dan detik itu juga dia berlari kearah jembatan gantung. Jantung berdegup kencang melihat Pijar yang terlihat gugup disana. Dengan tangan rapuhnya, dia berhasil mendekap seseorang yang hampir saja merencanakan bunuh diri.
Ya, seorang gadis yang kini berada dalam pelukan Pijar sambil sesekali memberontak meminta dilepaskan.
"Gaga..." kata Pijar yang nampak kuat memeluk gadis disana.
"Lepasin!" lirihnya yang kemudian dituntun Pijar untuk duduk menjauhi jembatan itu, secara naluri aku mengikuti mereka.
"Ga... naam" kata Pijar sambil memperagakan orang minum. Aku mengangguk dan mencari warung terdekat untuk membeli minuman. Setelah menemukan warung dan membeli dua air mineral aku kembali ke arah Pijar dan gadis itu. Aku agak tersentak, saat melihat Pijar mengelus dada kirinya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Terlepas dari semua kejadian yang dia hadapi, pada akhinya dia bisa menemukan tempatnya untuk sembuh, dia menemukan tempatnya untuk ikhlas. Sebab dendam-dendamnya pada takdir tidak pernah akan sebanding dengan rasa sayanganya pada ayahnya. Bang Zero, kau dengar aku bukan, hari ini Pijar kembali menyelamatkan hidup seseorang yang mencoba mengakhiri hidupnya. Dia masih Pijar kecilmu.
Aku kembali menatapnya, kali ini aku paham.
Kita memang manusia malang dengan banyak beban luka. Memang. Katanya orang yang sama-sama tumbuh dari luka akan begitu sulit menjalin hubungan. Aku tidak mengelak bahwa itu benar, tapi biarkan aku mengatakan ini. Setidaknya dengan beranjak sembuh terlebih dahulu, kita bisa menjadi obat bagi luka orang lain. Itulah yang coba kulakukan pada Pijar Dandelion, putri Ayah Zero.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
Fiction généraleSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...