Malapetaka yang Bertamu

380 56 5
                                    

Tahun yang tidak ingin diingat

Memang ada yang salah ketika takdir selalu memberi saya sebuah kebahagiaan tanpa diselingi dengan beban atau masalah. Manusia yang hidup dari jutaan masalah seperti saya memang rasanya tidak akan pernah bosan untuk dihinggapi takdir yang memuakkan dan terasa sial.

Saya agak ragu menceritakan bagian ini, selalu takut dan juga sedih yang begitu menyiksa hidup saya, bagian yang membuat saya tidak ingin mengingat tahun itu. Tidak ingin mengingat nama hari itu, atau tanggal serta bulan. Intinya saya membenci saat-saat itu.

Saat itu hari dimana Surya yang memang sudah 3 hari izin karena dia harus kembali berhadapan dengan ayahnya. Saya cukup heran mengapa Surya tidak melaporkan Tindakan kekerasan ayahnya saja. Tetapi jawabannya seolah-olah menegaskan bahwa hanya dengan cara menjadi samsak pukul lah Surya merasa dikasihani, Surya merasa masih dianggap keberadaanya oleh sang ayah. Maka saya pun hanya akan membiarkan lelaki berambut ikal itu pergi menemui ayahnya.

Hari itu pukul 8 malam, hujan cukup deras. Saya sudah mewanti-wanti Pijar sebenarnya untuk tidak bekerja saja tadi sore, sebenarnya Pijar terbiasa akan di antar dan dijemput oleh Surya.  Memang beberapa bulan belakangan Pijar diterima menjadi salah satu editor dari sebuah penerbitan indie yang jaraknya lumayan dari rumah. Alih-alih mau saya antar sebab saat itu Surya tidak berada di rumah kami, namun Pijar tidak pernah mau.

Dia takut merepotkan saya.

Tidak ada yang berubah, dari Pijar kecil sampai sekarang dia tidak pernah merengek hal-hal yang dia dapat lakukan sendiri. Dan meskipun berat, saya membiarkannya. Saya tidak ingin Pijar merasa bahwa saya mengekangnya.
Tetapi malam itu berbeda, sampai pukul 8 lebih 15 menit Pijar belum juga pulang.

Padahal biasanya jam 8 sudah menunjukan wajah cerianya meski baru pulang kerja, dengan senyum manis dan martabak asin di tangan kanannya yang selalu dia bawakan untuk saya.

Berbeda dengan malam itu, dia tidak kunjung pulang meski sudah lewat 15 menit jam kepulangannya. Saya benar-benar takut. Ketakutan yang bahkan sampai membuat tangan saya gemetar hebat. Malam itu saya benar-benar menunggu Pijar, di teras dengan kopi panas dan lampu remang-remang. Menunggu Pijar dengan menatap takut gerimis yang mulai deras, bukan hujan tetapi gerimis yang terasa begitu dingin dan mencekam.

Saat itu saya teringat, bahwa dalam kedekatan hubungan antara dua orang selalu berhasil membangun intuisi. Katanya seperti itu. Ada sesuatu yang menyakiti saya dalam gerimis ini, ada sesuatu yang begitu sesak saya rasakan, seperti ketakutan dan juga kesedihan.

Saya tidak mengerti perasaan apa yang membuat saya begitu merinding di malam itu. Namun, pada akhirnya saya tahu penyebabnya.

Dan sekitar pukul 10 malam, Pijar pulang.

Ya… hanya raga Pijar yang pulang, karena pandangannya kosong.

Penampilan Pijar, baju yang sobek yang rambut berantakan yang nampa seperti orang kurang waras, serta bibir biru dan juga mata merahnya. Saya segera berlari menembus gerimisi itu, menatap Pijar dari dekat dan membuat saya semakin sesak saat keadaan Pijar begitu mengenaskan.

“Pijar, ada apa?” saya sangat takut, hal buruk itu sudah ada di dalam pikiran saya. Tetapi saya ingin mengelaknya, saya tidak ingin bahwa pikiran itu memang nyata, dan saya berharap itu hanya akan menjadi pemikiran liar saya.

Tetapi sepertinya memang takdir tidak ada puasnya membuat gadis malang ini semakin menderita. Pijar memeluk saya dan menangis, dalam pelukannya dia seperti menumpahkan segala ketakutannya, dia mencengkram erat-erat baju saya. Suara gerimis terkalahkan dengan raungan Pijar. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai saya tidak sengaja melihat tanda keunguan dan juga cakaran di leher Pijar.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang