Zero dan Segala Hidupnya
Aku tidak hanya mengantar Pijar ke Panti, tetapi aku juga menunggunya dan mengamati apa yang akan dilakukan Pijar disana. Dia terlihat sedang bermain dengan anak-anak di taman, wajahnya ketika itu terasa begitu bahagia, seperti seorang yang tidak memiliki beban dan kesakitan. Aku ingin wajah itu selalu ada disana, selalu menjadi wajah yang sering dia tampakan dengan tulus. Sedangkan aku duduk di ruang tamu yang berada di teras, sambil menikmati tawa khas dari gadisku disana.
"Silahkan diminum, maaf seadanya," ucap Ibu Panti. Wajah yang mulai menua itu tidak melunturkan sifat keibuan dan kehangatan, wajah itu masih bisa kukenali sejak pertama aku melihatnya. Di depan gerbang, ketika Bang Zero menceritakan kisah Pijar saat hidup di Panti Asuhan.
"Terima kasih bu,"
"Nak ini siapanya Pijar?" tanyanya memulai percakapan, mungkin karena aku tidak pernah datang kesini, atau tidak pernah menemani Pijar sebelumnya. Wajar jika Ibu Panti tidak tahu siapa aku.
"Saya Surya, Teman Pijar," perkenalan saya dengan singkat.
"Nak Surya sepertinya baru pertama kali kesini ya?"
"Iya bu, sebenarnya saya sering lewat tapi saya agak sungkan untuk mampir."
"Kenapa? Mampirlah, kalau pun tidak dengan Pijar, nak Surya bisa kok main-main kesini." aku tersenyum dan mengangguk kecil.
"Bagaimana kabar Mas Zero? Dia juga lama tidak kesini. Terakhir 2 tahun yang lalu sepertinya."
Pertanyaan ini seharusnya menjadi pertanyaan sederhana jika lelaki itu sedang ada di bengkel melayani pelanggan yang banyak, atau sedang mencoba kemeja baru di rumah, atau juga sedang berkencan dengan Tante Omera. Harusnya jawaban itu akan lebih sederhana ketika lelaki itu bisa terjangkau dimana. Tetapi nyatanya pertanyaan yang sederhana itu begitu susah kujawab, tidak sepantasnya pertanyaan itu bisa membuat cengkraman kuat dalam dadaku, membuat sesak yang entah mengapa selalu menghantam mengingat bahwa Bang Zero kini tidak bersama kita.
"Bang Zero sudah lama meninggalkan rumah," jawabku sekenanya.
"Dia menelantarkan Pijar? tidak mungkin!" elak Bu Panti denga agak keras.
"Bukan, bukan menelantarkan," segera aku mengoreksi, tidak ingin jika orang lain berpikir buruk lagi tentang lelaki itu.
"Saya paham, pasti terjadi sesuatu dengan Zero. Dia tidak mungkin meninggalkan Pijar."
Aku membenarkan dengan menganggukan kepala. Saya tidak berani untuk menceritakan masalah yang kami hadapi dengan orang lain, sekalipun itu adalah orang yang pernah dekat dengan Bang Zero—seperti ibu panti. Hanya ketakutan akan datanganya trauma Pijar, serta banyaknya pertanyaan yang mungkin akan membuat kami kesusahan untuk menjawabnya. Maka aku hanya perlu berkata demikian, tidak akan menceritakan luka yang kami tanggung.
"Dulu, saya sangat ingat betapa sulitnya mengurus dokumen-dokumen Pijar yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah, Zero mengurusnya siang-malam, dia memintaku untuk membantunya mengurus, siang dan malam Zero tidak pernah merasa lelah, katanya dia sudah tidak sabar untuk dapat melihat Pijar sekolah. Zero tidak pernah sedikitpun mengeluh lelah tentang Pijar, dia rela berhenti merokok hanya utnuk mengumpulkan uang agar dapat menyewa rumah, ibarat kata dia memberikan hidupnya bagi Pijar. Bagi anak yang dibuang oleh kerabatnya sendiri," cerita ibu panti mengingat Bang Zero. Sepertinya kerinduan itu juga bukan hanya milikku, Pijar atau Tante Omera. Orang-orang yang pernah mengenal Bang Zero hampir merasakan kerinduan itu. Sifat lugunya selalu membuatku terpukau, manusia malang yang menyandingi malaikat itu selalu bisa hidup dalam hatiku, dalam hati Pijar dan hati orang-orang yang pernah mengenalnya.
AKu juga tidak mengerti adakah manusia seperti Bang Zero lagi di dunia ini? Bagaimana bisa dia bertahan padahal sebelumnya dia juga hampir saja bunuh diri. Tapi dia justru mau merawat Pijar. Mau merawat anak orang, disaat dia sendiri saja tidak pernah bisa mempertahankan dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/267761026-288-k999882.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
Fiksi UmumSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...