Menjemput Kematian dengan Sukacita

309 53 11
                                    

WARNING!!

sebelum membaca aku hanya memperingatkan bahwa bagian ini ada kata-kata dewasa ya teman-teman. semoga ditanggapi dengan bijak!

___________________________

Masih pada tahun yang tidak ingin dikenang

Pijar baru saja pulang dari rumah sakit, bersama Surya dan Omera. Saya tidak tahu mengapa Pijar mau bertemu mereka berdua tetapi tidak pernah mau jika saya yang menemuinya.

Mungkin Pijar sadar, hidup dan besar bersama orang yang sial seperti saya memengaruhi hidupnya menjadi sial juga. Atau justru Pijar berpikir jika kesialan ini sebenarnya diberikan Tuhan pada saya, tetapi justru terpental kepada Pijar?

Pikiran-pikiran buruk yang berdemo di kepala saya semakin hari semakin banyak. Saya tidak bisa menyapa Pijar secara langsung, bahkan ketika dia sampai di rumah, dia langsung memasuki kamar. Saya hanya menghela nafas berat, sampai kapan Pijar akan mendiamkan saya?

Perasaan sedih saya semakin menjadi setiap hari, Pijar tidak lagi memakan martabak manis, dia sudah tidak menyukai ayam goreng, tidak ada lagi sepatu yang selalu dia sediakan untuk saya di pagi hari, atau tidak ada suara-suara yang akan kami ucapkan saat menonton sepak bola di TV.

Semuanya seperti kenangan yang sudah terbakar habis. Pijar tidak mau melihat saya, tidak mau menemui saya, dan itu sepertinya sudah cukup menjadi alasan akan kematian bagi saya.

“Pijar sedang tidak dalam masa subur, mungkin pelecehan yang diterima Pijar tidak sampai jauh seperti yang kita pikirkan.” Jelas Omera tiba-tiba.

“Sekecil apapun, itu adalah pelecehan seksual!” umpatan tak dapat dikendalikan dari Surya. Saya tahu, pemuda itu pasti juga begitu menyesal dan merasa salah atas apa yang dialami Pijar.

“3 orang yang biasa disimpang depan adalah anak salah satu orang yang sangat terpengaruh disini,” ujar Omega tiba-tiba. Saya langsung menegak, seakan sangat tertarik untuk mendengarkan topik ini.

“Mereka memang sering mabuk, tapi belum tentu mereka yang melakukan hal tak senonoh itu pada Pijar”

Saya tidak tahu, saya akan menyelidiki ketiga pemuda itu. Saya harus. Namun sebelum saya benar-benar akan membalas hal itu, ada sesuatu lain yang saya takutkan. Dulu Pijar tidak diterima keluarganya karena kecacatan yang dia alami, saya takut bila di masa depan pun Pijar akan dijauhi, akan kembali dikucilkan. Jadi untuk memastikan sesuatu yang bertanya pada Surya.

“Surya, kamu tidak akan meninggalkan Pijar karena masalah ini bukan?” Tanya saya pada Surya yang dibalas dengan lototan matanya.

“Apakah menurut bang zero saya lelaki brengsek yang akan meninggalkan Pijar saat dia sedang mengalami masa-masa sulit? Apakah muka saya sama brengseknya seperti ayah saya?” pemuda itu tidak menggunakan kalimat tinggi.

Tetapi ketegasan dalam setiap ucapannya sedikit membuat saya lega.

“Saya hanya takut kalau Pijar tidak lagi diterima,”

“Hei, kau pikir kami termasuk manusia-manusia menyebalkan itu?”

kini suara Omera yang memprotes. Saya menatap lantai kusam di bawah, perkataan Omera dan Surya lagi-lagi membuat saya yakin bahwa Pijar tidak akan sendirian sekarang. Meskipun tanpa saya suatu saat nanti. Barangkali.

“Tidak Surya, Omera. Saya percaya pada kalian,”

Omega menatap saya saat itu dengan tatapan yang sepertinya paham mengapa saya menanyakan hal itu. Cukup berat memikirkan resiko apa yang akan terjadi di dalam kehidupan berikutnya.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang