Dalam Bayang-bayang Bahagia
Kicau burung itu seperti sebuah sapaan yang menghantarkanku pada belantara hutan dengan pepohonan yang menenangkan. Rerimbunan yang gelap itu justru begitu memikat dengan cuaca dingin berkabut. Langkah kaki yang terdengar bergesekan dengan ranting-ranting yang jatuh justru tidak menyeramkan sama sekali, justru nada itu seperti sebuah nada kelegaan yang dikeluarkan dari setiap langkah kaki ini. Maka dengan hati-hatii, tubuh ini menemukan ruang begitu apik. Sebuah air terjun di dalam hutan, ujung pelangi yang bahkan muncul disebelah kanan tebing air terjun. Lalu kolam yang begitu jernih disana hingga membuat siapa saja yang melihatnya ingin merasakan kejernihan air kolam itu. Lalu tebing-tebing yang mengampit air terjun itu dipenuhi dengan batu-batu cantik yang berkilau saat terkena deras air dari atas, lalu netraku menyelursuri setiap bebatuan yang ada dipinggir kolam, hingga akhirnya sampailah pada sebuah batang pohon yang tumbang, dan disanalah kedamaian tak berwujud duduk. Menghadap deras air yang sudah kupastikan cipratan airnya akan mengenai wajah sang kedamaian.
"Ayah!" maka dengan teriakan yang pada akhirnya bisa sempurna, aku memanggilnya. Lelaki yang menggunakan baju putih dan celana jeans itu menoleh, senyuman yang begitu terasa jelas itu kurekam baik-baik. Dan dengan perlahan aku menujunya. Ikut duduk disamping kedamian tak berwujud ini.
"Pijar, kamu sudah besar" katanya sambil membantuku berpijak pada batu yang licin.
"Ayah, aku begitu merindukanmu." Kataku langsung, mengucapkan kata yang ditahan membuat sesak yang dipendem pada akhirnya bisa teralihkan.
"Kerinduan hanya datang bagi orang yang merasa kehilangan Pijar, sedang saya ada di hatimu. Saya selalu ada bersamamu" katanya yang kemudian menggenggam tanganku.
"Tetapi Pijar tidak bisa melihat ayah"
"Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kita lihat Pijar, kesedihan, kebahagian, dan masa depan. Darimana kita bisa melihat dan menilai hal tersebut? Tetapi justru karena kita bisa merasakannya."
"Disini," lanjutnya sambil memabwa tanganku untu ditaruh ke dadanya.
"Ada hubungan kuat yang tidak bisa dipatahkan oleh siapapun. Meski tanpa melihat, hubungan itu tidak akan pernah hancur Pijar."
"Tapi bagaimana dengan diriku?"
"Ingat ini pijar, saya akan selalu menjadi Pelangi dalam setiap kedukaanmu. Dalam setiap ketidakberuntunganmu, dalam setiap kecewaanmu. Saya akan ada disana. Di dalam hatimu yang paling dalam."
Sebab rasa sesak itu ternyata kembali muncul, kembali menikam berkali-kali seakan tidak pernah mau membiarkan diri ini mengelak. Tidak ada celah untuk nafas kebahagiaan, tidak ada kedip pengharapan disana. Hanya ada rasa sesak kehilangan yang tidak pernah bisa dikatakan. Sangat-sangat menyakitkan.
"Apakah ayah tidak merasakan sakit berpisah denganku?
"Pijar, kesakitan itu seperti sebuah udara bagi saya. setiap detiknya perasaan lelah dan putus asa begitu penuh memmenuhi kepala. Tetapi begitu saya tersadar dengan nama 'Pijar'. nyawa saya seperti kembali, keputus asaan itu seperti halusinasi. Karena pada akhinya hanya dengan mengingatmu membuat saya sembuh dan tumbuh. Saya bisa begitu kuat menghadapi takdir yang arogan, saya bisa bertahan lebih lama hanya menyadari bahwa saya pernah begitu bahagia, saya pernah begitu dicintai."
"Ayah lelah?"
"Tidak,"
"Lalu kenapa ayah menghilang dari kehidupanku?"
"Kehilangan adalah kepastian bukan? Tidak hari ini mungkin esok, tidak esok mungin lusa, tidak lusa mungkin bulan atau waktu-waktu kedepan. Lalu mengapa manusia mengatakannya seakan-akan perpisahan adalah hal baru yang tidak pernah datang dalam hidup mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
General FictionSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...