Kisah-kisah Lampau yang Perlu Diingat
Kamar ini masih kosong sejak kepergian pemiliknya, lemarinya juga sudah berdebu seakan mengabarkan bahwa tak ada yang datang untuk membersihkannya. Kamar ini memang kubiarkan masih sama, dengan gorden usang yang hanya terbuat dari sobekan sarung ayah, lalu sebuah bantal yang bahkan sudah sangat tipis, dan juga satu selimut yang tidak begitu tebal. Masih sangat ingat bagaimana perjuangan ayah untuk mendapatan rumah ini. Di belakang pintunya, ada gantungan pakaian yang penuh dengan baju-baju favorite ayah. Baju yang sering ayah pakai maksudku. Aku mengambilnya, ada jaket, baju putih, dan juga batik berwarna hitam dengan motif wayang.
"Pijar, tidak perlu ajak saya kesini, untuk apa?" aku yang masih menggenakan seragam SMP saat itu hanya tersenyum sambil terus menarik ayah memasuki salah satu butik di sekitar pusat kota. Aku langsung menyeret ayah untuk ke sebuah tempat diamana banyak jaket tergantung untuk dijual.
"Selamat siang, mau cari apa mbak, pak?" Ucap salah satu pegawai. Aku langsung tanggap menyerahkan secarik kertas yang sudah kusiapkan dari rumah. Masih ingat betul apa yang aku tulis saat itu.
"Bisakah kau carikan jaket yang bagus untuk ayahku, hari ini hari ayah. Jadi aku ingin membelikannya. Oh iya kalau bisa yang harganya dibawah 300 ribu. Karena uangku hanya 340 ribu" Tulisan polos dari bocah SMP kelas 3. Aku memang berkata jujur bahwa hari itu aku hanya mambwa uang pas-pasan. Jadi sebelum aku dipilihkan jkaet dengan harga mahal, aku sudah memberitahu terlebih dahulu berapa uangku. Pegawai itu tersenyum sebelum akhirnya memeilihkan beberapa jaket padaku.
"Pijar, apa yang kamu lakukan. Saya tidak perlu jaket" Ujar Ayah yang saat itu masih saja sempat menolak. Aku hanya menggeleng dan mengode ayah untuk diam.
"Yang ini 250, ini 300, dan ini 270, silahkan dicoba" Kata pegawai itu dengan memberi 3 pilihan jaket yang harganya tentu saja seuai dengan sakuku.
"Pijar, ini terlalu mahal. Saya tidak mau" perkataan ayah membuat bahuku melemah, aku menatapnya dengan nanar. Sebelum akhirnya aku terisak pelan dan pergi dari toko. Tentu saja ayah langsung mengejarku dan menanyakan ada apa.
"Pijar, bukannya saya menolak pemberianmu, tapi untuk harga jaket sampa ratusan ribu itu cukup mahal. Bagi saya, jaket ini saja sudah cukup. Kamu hanya perlu menjahitkannya sedikit dibagian yang kemarin sobek." Katanya menenangkanku. Ayah tidak pernah meminta apapun dariku, bahkan ayah tidak pernah terlihat menggunkan baju baru. Tapi melihat bagaimana cara ayah menjaga dan mengkoordinir uangnya, aku jadi agak malu. Aku terlalu berboros meski niatku adalah membelikan jaket untuk ayah.
"Pijar, dengan bakat menjahitmu saja, saya sudah senang jaket saya ini diperbaiki" katanya.
Dan kini yang tersisa hanya jaket tipis dengan warna biru bergaris hitam dilengan. Jaket yang selalu ayah pakai jika akan pergi jauh, jaket yang mungkin setiap malam ikut terlelap bersama ayah dalam tubuh lelahnya. Andaikan aku bisa menjelma menjadi jaket ini, setidaknya aku punya waktu banyak untuk melihat bagaimana perjuangan ayah menghidupiku.
Kini padanganku teralih dengan baju batik, baju yang aku dan Kak Surya belikan untuk dipakai saat acara perpisahanku.
"Em Pijar, untuk undangan perpisahanmu diwakilkan Omera saja ya" Ujarnya kala itu saat kami sedang makan malam dengan sate madura yang baru saja di beli dari pedangan sate keliling.
"hena ha?"
"Saya tidak ingin kamu malu, saya tidak terlalu pandai menghadiri acara-acara seperti itu." Awalnya aku pikir ayah yang malu karena akan menjadi waliku di acara nanti, malu karena aku tidak bisa bicara dengan baik. Tetapi hari berikutnya aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan tante Omera di teras rumah.
"Saya mohon Omera, kamu saja yang berangkat."
"Kenapa sih, kamu tuh bukan orang gila ngapain harus malu?"
"Ya, kamu lihat sendiri penampilan saya kaya gembel. Baju aja hanya punya kaos kok. Gimana bisa saya menghadiri acara resmi itu, apalagi Pijar adalah siswa berprestasi. Dia pasti malu jika melihat penampilan saya seperti gembe,l" katanya memelas. Aku tertergun ketika ayah menkhwatirkanku, padahal tidak sama sekali. Bahkan jika aku harus menukar 100 ayah kandung untuknya, rasanya aku sanggup. Dan hari itu aku meminta Kak Surya menemaniku untuk membelikan ayah batik. Memang tidak terlalu mahal, setidaknya ayah mau memakai dan melihat penampilanku khusus ayah saat hari kelulusan nanti.
Dan yang terakhir adalah baju putih. Ya hanya baju putih yang di bagian ketiaknya sudah robek. Bahkan warnanya saja sudah agak kekuningan, tetapi ayah tidak pernah sama sekali berniat ingin membuangnya. Kata ayah, baju putih itu adalah baju yang diberikan temannya di warnet dulu, baju yang menemani ayah saat dia tidak punya baju ganti apapun. Baju ganti pertama ayah selain seragam pekerjaannya. Mengingat itu, aku jadi terpikirkan percakapan terakhirku dan Tante Omera bersama si gondrong penjaga warnet teman ayah.
"Ya, sekitar 2 minggu yang lalu, aku bertemu dengannya." Katanya yang sempat membuatku terkejut.
"Dia datang hanya untuk menanyakan jam berapa biasanya orang-orang di pertigaan simpang depan pulang,a " orang-orang yang dimaksud di gondrong adalah para pedangang-pedangang. Tetapi tunggu, kalimat dari sigondorong seakan menyeretku pada tempat paling menakutkan. Tempat paling biadab yang pernah kuinjak di bumi. Disana, aku kehilangan kehormatanku.
"Hanya itu?" tanya tante omera.
"iya, keadaannya hari itu sangat kacau. Dia yang biasanya sudah mengurangi rokok, justru hari itu dia sampai menghabiskan 2 bungkus rokok disini," katanya dengan nada sendu. Aku tidak mengerti mengapa ayah menanyakan tempat itu, tetapi berbeda dengan Tante Omera yang sepertinya sudah mengerti kemana arah pikiran ayah saat itu.
"Kabari aku jika kalian sudah bertemu dengan Zero"
Katanya saat kami memutuskan pamit.
Ada yang berbeda dari Tante Omera di perjalana pulang kami, Kak Surya yang baru saja datang saja menyadari kejanggalan dari raut wajah Tante Omera. Setelah menemui teman ayah di warnet kami justru terdampar di taman.
"Ada apa tante? Mengapa kau begitu tegang?" tanya kak surya pada akhirnya.
"Zero.." ujarnya lirih menggantung, aku tidak tahu mengapa Tante Omera seperti kehilangan gairah untuk berbicara saat itu, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat. Iya, kalimat yang membuatku tidak pernah bisa berhenti untuk menyalahkan diri sendiri.
"Zero menemui orang yang telah melecehkan Pijar"
Percakapan lampau itu akhirnya membuatku memikul rasa bersalah dalam hidup, telah 3 minggu berlalu dan ayah belum juga kami temui. Kenangan bersama ayah pada akhirnya berujung pada kesakitan yang begitu dalam kurasakan, aku semakin tenggelam dalam lingkaran hitam yang menyerapku seakan mengatakan bahwa kematian adalah jalan paling menenangkan, maka hari itu, aku memutuskan untuk memecahkan gelas dan mengambil sepotong kaca. Ya, bagian kaca yang begitu tajam, yang seakan menjadi pembuka jalan untuk manusia-manusia lelah sepertiku.
Dan di hari itu, aku menggoreskan pergelangan tanganku sendiri, sambil merasakan kesakitan yang rasanya tidak sebanding dengan kehilangan ayah.
Maka sebelum mataku terpejam bersama percakapan indahku dan ayah di masa lampau, aku mendengar seseorang membuka pintu dan berteriak kencang memanggil namaku.
_______
Udah kerasa nyeseknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
General FictionSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...