Putri yang kehilangan Rajanya
Sudah 2 minggu berlalu, rumah hanya ada aku, Kak Surya dan juga Tante Omera. Mereka bergantian menjagaku. Dan juga seperti hari-hari kemarin, aku masih meletakan satu piring kosong setiap kali sarapan, makan siang dan juga makan malam. Kekhawatiranku ayah akan datang tiba-tiba dengan lelah dan rasa lapar. Juga baju-baju ayah yang ku setrika, dan letakan di kasur kamarnya. Kadang, baju yang tak tersentuh di hari kemarin aku kumpulkan kembali lalu kuulang cuci dan ku setrika lagi. Kehidupanku tanpa ayah seakan-akan menghadirkan bayangan-bayangan rumah yang masih terisi oleh sosoknya, masih dihuni dengan keluh kesahnya tentang listrik yang tiba-tiba padam karena lupa membeli pulsa, atau karena atap yang bocor sana sini ketika hujan deras tiba.
Selama itu juga Tante Omera atau kadang Kak Surya membawaku untuk terapi, katanya untuk membantuku menghilangkan trauma. Tetapi justru bayangan tentang ayah yang kini tidak bisa kulihat semakin nyata. Setiap malam, rekaman yang kuputar adalah rekaman ayah yang bertuliskan 'Didengarkan saat kamu Sedih' Meski ayah tidak menyukai rekaman itu, justru aku selalu ingin mendengarkan nasihat ayah.
"Berpikir positif Pijar, jangan sampai kamu terlalu larut dalam kenangan burukmu"
Kata Tante Omera setelah kami melakukan pemeriksaan rutin ke psikiater. Aku hanya mengangguk kemudia menerima botol minuman dari Kak Surya yang juag ikut mengantarku.
"Iya, doain akhir tahun ini uang yang terkumpul sesuai target aku, setelah itu kita nikah"
Aku terkekeh perlahan ketika melihat Tante Omera yang tersedak kemudia memukul pelan kepala Kak Surya.
"Nikah-nikah mulu, nikah itu gak sembarangan ya. nikah bukan pacar-pacaran yang bisa seenaknya gitu aja loh" Kritik Tante Omera pada Kak Surya yang hanya dihadiahi dengusan oleh lelaki itu. Dasar!
"Ada banyak hubungan yang tidak berjalan sesuai dengan keinginan, entah karena mereka salah menentukan atau memang takdir sial mereka yang mengharuskan untuk melewati masa-masa kepahitan."
Kali ini aku setuju, ada banyak hubungan yang akhirnya hanya berakhir dengan penyesalan. Tetapi satu hubungan yang tidak pernah kusesali seumur hidup adalah hubungan antara Ayah dan Putrinya. Hubungan ketulusan antara Ayah Zero dan Pijar. semua tentang Ayah pada akhirnya adalah sebuah kebaikan-kebaikan hidup yang aku dapatkan dari Tuhan.
"Tante Omera, tolong bantu aku menjaga Pijar ya," permintaan tulus itu pada akhirnya membuyarkan lamunanku tentang ayah. Aku kembali menyelami netra Kak Surya yang terlihat lesu karena jarang tidur.
"Tanpa kamu minta, dan aku akan selalu menjaga Pijar. Dia itu putriku juga!" Wanita yang berumur tidak jauh dari ayah ini memang mempunyai sikap dewasa dan juga menenangkan sedari dulu aku baru saja mengalami masa dewasa. Ingat sekali masa-masa aku mengalami menstruasi pertama. Betapa bingungnya diriku saat itu, antara malu untuk bertanya pada ayah dan juga rasanya agak tabu membicarakan hal seperti dengan lawan jenis. Sejak saat itu aku dan tante omera dekat, aku tidak pernah memasalahkan hubungan antara Ayah dan Tante Omera, karena mereka orang dewasa yang pasti punya tuntutan tersendiri dalam hubungan. Selama Tante Omera tidak menyakiti Ayah, aku rasa aku bisa menerimanya.
Aku mencari kertas dan juga pena yang selalu kubawa di tas kecilku, lalu menuliskan kelimat yang membuat kedua orang itu terdiam sebentar dan menatapku dengan dalam.
**
"Pijar, kamu tahu gak. Dulu pas pertama aku kesini, aku Cuma mikir buat ngumpulin uang lalu aku beli rumah sendiri, lulus sekolah, udah gitu aja. Tapi ternyata Tuhan kasih aku lebih banyak dari yang aku inginkan."
Aku menatap Kak Surya, malam ini dia akan menemaniku. Dengan kaus berlengan panjang, celana jeans dan juga topi hitamnya. Lelaki yang dulu datang begitu saja dalam hidupku dan ayah ini, dulu begitu pendiam. Tidak banyak bicara seperti sekarang, tetapi bagaimanapun dia, rasa nyaman itu tidak berubah, selalu sama.
"Aku nemuin keluarga disini, nemuin sosok kakak lelaki yang merangkap sebagai ayah, lalu kakak perempuan yang merangkap sebagai ibu, dan juga adik yang merangkap sebagai pacar." Jawabnya tanpa tedeng aling-aling. Aku tertawa saja menanggapinya. Andaikan ayah, ayah ada disini, pasti ayah akan tersedak ketika mendengar perkataan kak surya.
Ayah. Ayah juga dulu sering sekali berbicara lucu dan aneh. Seperti saat dia berhasil membenarkan televisi yang kami beli saat awal kepindahan kami kesini.
"Syukurlah, jadi juga ini kotak Tv"
Aku tersenyum geli ketika melihat ayah satu hari ini hanya otak-atik televisi saja . Aku menyuguhkan kopi hitam untuk ayah.
"Pijar, gakpapa ya Tv bekas gini juga bisa ditonton nih. Ada gambarnya juga kok."
Aku hanya mengangguk, lalu menawarkan kopi pada ayah.
"Pijar, kayaknya saya udah cocok ya jadi orang tua?"
"Ha..gana?"
"Maksudnya, kayak udah pas aja gitu. Saya udah bisa cari uang sendiri, bisa beliin kamu TV, bisa benerin atap yang bocor. Padahal dulu ogah-ogahan. "
"Jadi keingeti ibu sama bapak kabarnya gimana deh, kayaknya mereka gak ngerasa kehilangan anaknya."
"gaah.." Ujarku sambil tiba-tiba memeluk ayah.
"Pijar, kadang lucu ya. anak yang dulunya begitu terlihat mulia hidupnya justru ia besar dengan keputusasaan dan rasa takut. Ada juga anak yang kecilnya seperti semak belukar tapi dia tumbuh menjadi manusia yang kuat. Intinya hidup masa depan itu gak ada yang bisa di prediksi kan?"
"Saya bahagia sekali, saya dapat bertemu denganmu. Selain karena saya tidak kesepian, karena dorongan mengenalmu, saya jadi bisa berperan layaknya ayah."
Lagi-lagi segala sudut rumah, dan udara percakapan semua menggambarkan tentang ayah. Sesak itu semakin menjadi-jadi. Semakin menyelimuti dada yang kian detik kian menyakitkan menyadari bahwa ayah tak kunjung pulang atau memberi kabar.
"Pijar..."
Maka untuk menjelma dalam pertahanan, aku harus menjadi sang putri yang tegar, yang harus tumbuh dari belukar kesepian tanpa rajanya.
"Pijar..."
Karena semakin jauh memaksa, pada akhirnya aku akan kembali menanyakan kemana ayah? Dimana dia? makan apa ayah malam ini?
"PIJAR!!" Aku tersentak saat suara Kak Surya meninggi, aku tidak meyadari bahwa aku sudah menangis sejak memikirkan masa-masa ayah bersamaku. Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri, rasanya sesak sekali.
Begitu sesak,
"Aku mohon jangan seperti ini Pijar, besok kita akan mencari ayahmu. Itu kan keinginanmu tadi siang?" aku hanya diam dalam pelukan kak surya, membiarkan lelaki itu ikut merasakan air mataku yang bahkan turun tanpa kuminta.
"Aku ingin kita sembuh Pijar, ya kita. Aku kamu dan ayahmu"
Lingkaran manusia penuh masalah seperti kami memang nampaknya tidak perlu menginginkan harapan kebahagiaan lebih lama, sebab bertahun-tahun kami menjalaninya, aku menyadari bahwa segala kekuatan yang terbentuk untuk kami justru lewat luka-luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
General FictionSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...