Ketakutan pada Kebenaran

23 11 0
                                    

Ketakutan pada Kebenaran

Selalu aku percayai, dalam hidup aku meyakini bahwa kebenaran selalu membuat seseorang tenang, entah semenyakitkan apapun kebenaran itu akan lebih baik daripada kebohongan. Tetapi hari itu, setelah hari surat misterius datang dengan judul mengerikan. Aku akan mengahpus kalimat pertama, aku memilih kebohongan. Aku tidak masalah jika harus hidup didalam ketidakpastian itu, karena seolah-olah kami masih bisa membuat harapan baik akan keadaan Bang Zero. Namun, setelah kebenaran itu justru datang, justru membuat dunia kami seolah-olah menjadi parodi yang berisi topeng dimana-mana. Saling memerankan peran semestinya tanpa peduli bahwa apa yang terjadi, justru semakin membuat kenyataan itu menjauh seolah pantas untuk di lupakan. Namun sayang, kebenaran tetaplah kebenaran, tidak akan pernah bisa elak bagaimanapun manusia mencobanya.

Pada akhinya hari-hari kelam semakin menjadi gelap, tidak ada surya ataupun pijar cahaya yang datang. Sebab pengharapan yang dinantikan justru seolah ditolak mentah-mentah oleh sang peran. Mereka lalu masuk kembali pada lubang bayang-bayang, sebab di dalam lubang sana, keluarganya masih sempurna. Masih ada sosok ayah yang akan tersenyum disetiap sudut rumah. Maka kepura-puraan itu membuat hidupnya berada pada hal baik yang menyakitkan. Hal yang diharapkankan dalam kenangan. Baik Pijar, maupun Tante Omera. Mereka kehilangan kendali atas diri mereka sendiri.

Denting piring terdengar, sebab mungkin kesadaranku lebih besar dari dua wanita itu. Maka aku segera ke dapur. Melihat dua wanita yang sedang memasak justru tertawa sambil meringis ketika melihat piring yang pecah dan tepung yang berada di dalamnya berserakan di lantai.

"Kalian tidak apa?" tanyaku mendekati Pijar dan Tante Omera.

"Pijar lain kali hati-hati, tante akan beli tepung dulu," jawab Tante Omera lalu berlalu yang kemudia menepuk bahuku entah untuk apa.

"Kamu sedang masak apa?" Pijar menunjukkan satu halaman pada buku resep yang berada di meja. Bukan, itu bukan resep seperti bagaimana resep pada umumnya. Itu adalah catatan belanja keperluan bengkel yang di tulis Bang Zero. Aku memalingkan wajahku, mencoba tidak menangis ketika melihat kondisi Pijar semakin mengerikan. sesuatu yang menghimpit dada rasanya semakin mencekik, udara kian hari kian menipis. Saat aku benar-benar mengetahui bahwa kehidupan kami semakin hancur dan hampa.

"Kalau kelelahan tidur ya," ujarku sambil mencoba tersenyum. Saat aku hendak keluar dapur, terlihat Tante Omera datang dengan kantung yang pasti berisi tepung di tangannya.

"Surya tolong kamu iris wortel juga ya," katanya yang sepertinya sedang membuat sup. Aku mengurungkan niatku untuk pergi, dan membantu mereka memasak.

"Gak sekalian sama tomatnya tante," tanyaku sambil mencari pisau.

"Gaaa...."

"Gak, Zero kan gak suka wortel"

Jawaban dari kedua wanita itu membuatku tersentak. Meski pada akhirnya air mataku menetes dan segera membelakangi mereka. Maka dengan berat hati aku mengiris wortel. Mengapa rasanya aneh, kenapa saat setiap kali aku memotong wortel, justru bagian dadaku yang sesak? Apalagi dengan mendengarkan percakapan mereka mengenai dekor rumah yang akan di pasang pada dinding, membuatku ingin berteriak sekeras mungkin. Ini sakit sekali Tuhan!

"Gak, lebih baik warna hitam aja kali ya."

"gaaa, naa"

"Ah kamu benar, lebih baik coklat, udah dibeli Zero kan waktu itu? Daripada nunggu dia kelamaan mending kita pasang dulu, ya,"

Rasanya suara-suara itu adalah lambang kesedihan, tawa dan kekehan mereka tak lebih dari sebuah sandiwara yang digunakan hanya untuk menutupi betapa gilanya efek kehilangan. Begitupun denganku yang ikut memasuki ruang kegelapan itu, hingga tak sadar yang kugores dengan pisau bukan lagi wortel, melainkan tangan sendiri.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang