Juli 2002
Saya sangat ingat hari dimana Pijar menggunakan seragam, seragam ini saya dapat murah di pasar lowak dekat komplek. Tentu saja dengan harga murah tetapi barang bagus.
Membayangkan bagaimana dulu si keriting begitu lusuh. Lalu tidur di serambi masjid, dan berjalan luntang-luntung selama 3 hari bersama saya, mengingatnya membuat saya menyadari bahwa ternyata memang kami telah berjuang sekuat ini. Saya sedang tidak sombong, tetapi melihat bagaimana keadaan saya dulu dengan sekarang, tentu ini sebuah hal baik. Saya yang tidak pernah memiliki tujuan hidup dan selalu tertekan dengan status pengangguran saat itu, nyatanya kini memiliki hal baru untuk dijadikan alasan hidup.
Sekarang didepan saya, sudah nampak Pijar yang dengan cantiknya tersenyum menggunakan seragam sekolah dasar, betapa bahagianya saat dia mengetahui bahwa saya membelikannya seragam.
Dan hal yang paling memalukan tetapi sebaenarnya begitu saya nikmati adalah ketika Pijar memeluk saya, seakan sesuatu yang saya berikan adalah sebuah hal yang luar biasa mahal. Saya begitu merasa dihargai olehnya.
Bahkan sepanjang hidup saya, saya baru merasa dianggap keberadaanya oleh seseorang, pun oleh Pijar. Karena itulah saya selalu berusaha melindungi Pijar, selalu berusaha menempatkan Pijar dalam keadaan aman. Meski dalam pertemuan saya dan Beva akhirnya membuat Pijar lagi-lagi dirundung.
Ah, saya belum menceritakan hal ini, dulu saat usia Pijar yang seharusnya memasuki taman kanak-kanak. Saya sudah ingin mendaftarkannya, apalagi percakapan para ibu yang seakan-akan menudung saya untuk segera menyekolahkan Pijar. Tetapi, kejadian hari dimana Pijar menjadi olok-olokan saat di panti.
Terulang kembali.
Suatu hal buruk itu terjadi kembali pada Pijar, tapi kali ini justru datang dari orang yang sempat dekat dengan saya beberapa bulan terakhir setelah kepindahan saya. Beva. Perempuan yang awalnya menarik perhatian saya, ternyata juga tertarik pada saya. Maka kami pun menjalin hubungan, meski selama hubungan kami tidak pernah saya menceritakan posisi Pijar sepenuhnya pada Beva.
Awalnya, saya begitu merasa terbantu dengan kehadiran Beva karena dari awal dia nampak ramah dan sering membantu keperluan saya dan Pijar.
Namun, di hari itu saya melihat sesuatu yang tidak baik. Sangat tidak baik.
Jadi, setiap harinya memang saya tidak bisa menunggui Pijar di TK, karena saya juga harus bekerja. Saya pikir menitipkan Pijar kepada Beva adalah hal yang tepat. Wanita yang menyandang status sebagai kekasih saya 3 bulan setelah kepindahan saya ke kontrakan itu nampak dengan senang hati saya titipkan Pijar.
Nah, jadi seperti ini. Saat saya memutuskan untuk pulang lebih awal dan berniat menjemput Pijar dari TK. Ketika di jalan hampir mendekati sekolah Pijar, saya mendengar beberapa riuh orang yang nampaknya entah sedang membicarakan apa. Namun langkah saya berikutnya menjadi berat ketika salah satu dari mereka berkata,
“Itu loh, si bocah gagu. Tadi gak sengaja bikin jatuh anak orang pas lagi main-main, sampai kena marah sana sini”
Saya membenci orang-orang yang memanggil Pijar bukan dengan namanya. Saya tidak suka mereka memanggil Pijar, bisu atau gagu. Saya benar-benar benci hal itu. Tetapi rasa tidak suka itu kalah dengan rasa ketakutan yang tiba-tiba muncul saat saya menangkap kenangan Pijar ketika dia dirundung saat di Panti. Saat beberapa orang mulai membubarkan diri, saya melihat Beva dan Pijar. Lebih tepatnya Beva yang menyeret agak kasar pada Pijar. Saya lekas-lekas bersembunyi, saya juga perlu tahu apakah selama ini saya benar menitipkan Pijar pada Beva atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Dandelion dari 056
General FictionSUDAH TAMAT (Re-Publish dg Revisi) PERINGATAN!! Jangan dibaca ketika emosi sedang tidak stabil, sedang mengalami depresj berat, karena beberapa kalimat menggambarkan keputusasaan. Dan ketika sudah membaca DIHARUSKAN sampai selesai. Agar dapat...