"To be fully seen by somebody, then, and loved anyhow—this is a human offering that can border on miraculous."
— Elizabeth Gilbert, Committed: A Skeptic Makes Peace with Marriage
|
|
|
and thus, their story started. . . . .
KEHENINGAN dan kegelapan adalah dua hal pertama yang menyambut Joyce begitu dia melangkah memasuki pintu depan rumahnya yang tidak terkunci. Waktu pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Perempuan itu menutup pintu di belakangnya dengan perlahan lalu berjalan melintasi ruang depan untuk menuju tangga yang akan mengantarnya ke kamar. Seluruh persendian tubuhnya terasa begitu penat dan dia ingin segera beristirahat. Berendam di tengah malam sepertinya akan membantunya merasa rileks. Tapi kelihatannya hal tersebut tidak akan dia dapatkan semudah itu karena begitu kakinya hendak menjejak pangkal anak tangga, terdengar suara seseorang yang menekan saklar lampu ruang tengah dan membuat ruangan yang tadinya remang-remang jadi terang benderang.
"Kenapa jam segini baru pulang?" Berdiri sambil menyandarkan salah satu bahunya pada sekat dinding yang memisahkan ruang tengah dengan ruang makan, Jeffrey bertanya.
Menghembuskan napas panjang, Joyce perlahan menolehkan kepalanya untuk menatap Jef dengan matanya yang menyorot datar. "Habis lembur. Banyak kerjaan di kantor."
"Aku belum selesai berbicara sama kamu, Joyce." Perkataan Jef membuat Joyce yang sudah kembali melangkah menapaki satu per satu anak tangga berhenti. Dia berjalan menjauhi sekat tembok yang dijadikannya tempat bersandar, dan berhenti tepat di ujung anak tangga. Jef sedikit menengadahkan kepalanya untuk menatap istrinya yang sudah berdiri di tengah-tengah anak tangga. "Bisa kan kamu berhenti, diam, dan dengerin aku beberapa menit aja? Mau sampai kapan kamu begini terus?"
"Aku capek, Jef." Tanpa sama sekali mengubah raut wajahnya, Joyce membalas. Entah karena apa, dia tampak begitu jengah berhadapan dengan laki-laki yang selama tiga tahun terakhir ini berstatus sebagai suaminya tersebut. "Jangan bikin aku makin capek dengan perdebatan nggak penting kayak gini, deh. Aku tuh muak tau nggak?"
Jef menarik napas dalam-dalam sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Detik berikutnya, kepalan tangan tersebut perlahan mengendur bersamaan dengan napasnya yang terhela panjang. "Pak Anton besok siang mau datang buat bongkar kamarnya Nathaniel sekaligus menyingkirkan semua barang-barang yang ada di sana."
Dengan cepat, Joyce menyentakkan kepalanya ke arah Jef lagi. Kali ini sorot matanya tidak lagi datar, tapi dipenuhi oleh bara kemarahan dengan sepasang alis yang mengerut tajam. "Kamu nggak punya hak buat minta siapapun datang dan mengobrak-abrik kamar Nathaniel tanpa seizinku, Jeffrey! Kamar itu dan semua yang ada di dalamnya punyaku! Cuma aku yang boleh masuk ke sana! Kalau niat kamu ke sana cuma buat menyingkirkan semuanya, mending nggak usah sekalian!"
Masih dari ujung anak tangga, Jef menatap Joyce dengan sorot mata yang kelihatannya berusaha untuk membuatnya mengerti. "Tapi ini sudah berbulan-bulan, Joy—"
"Ya kamu tetap aja nggak punya hak buat mengobrak-abrik kamarnya Nathaniel!" Joyce memotong apa yang hendak dikatakan Jef dengan nada tinggi. Dadanya terasa sesak karena gumpalan air mata yang mulai mendesak. Salah satu sudut bibirnya berkerut membentuk senyuman sinis ketika dia melanjutkan. "You killed him, Jef. You could've saved him, but you killed him instead. Dan sekarang kamu masih mau menyingkirkan semua yang tersisa tentang dia dari rumah ini, begitu?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...