3 | Into You Like a Train

403 66 14
                                    

I saw home in your eyes, and I found love in your smiles.

— Jeffrey Liu


***


Jakarta, June 2017

Sudah hampir tiga minggu berlalu sejak Joyce untuk pertama kalinya bertemu dengan Jeffrey Liu di dalam pesawat yang membawa mereka dari Jakarta ke Taipei, dan sudah hampir tiga minggu berlalu laki-laki itu tidak kunjung menghubunginya meskipun sud...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah hampir tiga minggu berlalu sejak Joyce untuk pertama kalinya bertemu dengan Jeffrey Liu di dalam pesawat yang membawa mereka dari Jakarta ke Taipei, dan sudah hampir tiga minggu berlalu laki-laki itu tidak kunjung menghubunginya meskipun sudah dia beri nomor ponselnya ketika mereka turun dari pesawat hari itu. Beberapa kali sederet nomor asing yang tidak masuk ke dalam buku kontaknya menelepon selama tiga minggu terakhir, beberapa kali juga Joyce berharap kalau itu adalah Jeffrey Liu—tapi sayangnya saja bukan.

Bah, memangnya apa yang Joyce harapkan dari pertemuan singkat yang hanya berlangsung selama beberapa jam? Bisa jadi obrolan ngalor-ngidul mereka kemarin di pesawat tidak lebih dari sekadar candaan atau pengisi kekosongan semata agar tidak terlalu kikuk selama duduk bersebelahan, kan? Menyadarinya, Joyce langsung bertekad kalau dia tidak boleh terlalu mengharapkan premis-premis tentang pertemuan mereka selanjutnya akan menjadi kenyataan—tidak peduli seingin apa dia untuk kembali mendengar suara bariton menyenangkan milik laki-laki berdarah chinese itu. Tidak peduli seingin apa dia agar mereka bisa bertemu kembali setelah tiga minggu yang lalu.

Lagipula sebelum ini mereka juga hanya sekadar sepasang orang asing yang kebetulan dapat tempat duduk bersebelahan di dalam pesawat, dan kebetulan juga bisa punya frekuensi yang sama ketika mengobrol. Jadi tanpa harus bertemu kembali dengan Jef pun Joyce yakin kalau hari-harinya akan stagnan seperti biasanya tanpa ada yang sedikitpun melenceng; bangun tidur, mandi, sarapan, bekerja, istirahat makan siang, bekerja lagi, lembur ketika ada tambahan pekerjaan, pulang, mandi, tidur lagi, lalu tekan tombol repeat. Lagi dan lagi. Begitu terus setiap harinya.

"Selamat pagi, Bu Joyce." Seorang satpam yang berjaga di pintu depan gedung kantor tempat Joyce bekerja menyapa ramah begitu perempuan itu tiba pada jam-jam seperti hari biasanya.

"Selamat pagi juga, Pak Kus." Joyce membalas sapaan ramah satpam paruh baya tersebut dengan seulas senyum cerah. Di antara puluhan pegawai yang bekerja di perusahaan tersebut, Joyce memang terkenal sebagai salah satu dari beberapa yang sering bersikap ramah dan hangat pada seluruh lapisan pekerja mulai dari pegawai magang, OB, hingga satpam. Dia bahkan pernah merasa tidak sampai hati ketika melihat seorang pegawai magang disuruh-suruh oleh pegawai dari divisi pemasaran untuk keluar-masuk gedung membelikan ini dan itu hingga memutuskan untuk menegur mereka dengan mengatakan kalau tujuan pegawai magang ada di perusahaan bukan untuk dijadikan OB dadakan. Meskipun perfeksionis dan bisa dibilang sedikit ambisius ketika menyangkut masalah pekerjaan, Joyce ini sebenarnya punya pribadi baik yang cocok untuk dijadikan teladan. "Oh iya, ini tadi saya beli kopi pas di jalan. Yang satu buat Pak Kus ya, biar semangat juga menjalani paginya."

IMPERFECTLY PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang