Since the very first time I saw you, your kind and loving presence strengthen me down to my very core
Since the very first time I saw you, I finally know what heaven on earth feels like
— Jeffrey Liu
***
Jakarta, May 2017
Banyak orang yang bilang kalau level worthy-nya seorang perempuan itu bisa dilihat dari seberapa besar dedikasi dan effort yang dia punya di tempat kerja. Tidak sedikit juga yang bilang kalau seorang perempuan baru bisa dianggap worthy ketika mereka sanggup menjadi istri sekaligus ibu yang baik dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tapi kembali lagi, semua itu hanya perkara perspektif dan stereotip. Tidak semua perempuan dengan etos kerja tinggi tidak bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik nantinya. Sama halnya dengan istri yang baik, belum tentu dia bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya kelak. Semuanya akan kembali pada diri kita sendiri—pada bagaimana kita menyikapi dan mematahkan setiap stereotip yang selalu menggempur perempuan dari berbagai arah dan sisi.
Terlahir sebagai perempuan—terlebih di negara yang kebanyakan masyarakatnya masih menganut pola pikir, nilai, dan sistem patriarki—sangat sulit, kan? Maju kena, mundur kena. Belum menikah pada usia di atas 25 tahun dianggap sebagai perawan tua yang tidak laku-laku. Menikah pada usia yang terlalu muda dipandang sebelah mata—apakah bisa menjadi istri dan ibu yang baik nantinya, atau masih terjebak pola pikir masa muda yang kesannya hobi foya-foya? Well, yeah. Everybody just want to see what they wanna see, right? Melelahkan.
Beruntungnya, Joyce Laetitia Danadyaksa dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang masa bodoh dengan apa kata tetangga. Bahkan setiap kali ibu-ibu kompleks bergosip dan menanyakan pada ibunya mengenai dirinya—putri tunggal yang sudah hampir menginjak kepala tiga namun tidak kunjung juga menikah—sambil memilah-milah sayuran di gerobak milik tukang sayur keliling, alih-alih menanggapinya dengan tersinggung, Mama justru hanya akan melayangkan senyum simpul dan jawaban berupa;
"Joyce sudah gede, Ibu-Ibu. Dia bisa memutuskan sendiri hidupnya mau digimanain dan dibawa ke mana nantinya. Lagian tanpa laki-laki, kerjanya juga sudah mapan dan dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, toh."
Lalu akan ada salah satu ibu-ibu julid yang menyahut dengan; "Joyce emang udah sukses, Bu Wina. Sukses banget malah. Nggak akan ada yang menyangkal soal itu. Tapi justru karena kemandirian dan kesuksesannya itu yang bikin laki-laki pada minder buat deketin Joyce. Mungkin itu yang bikin Joyce masih lajang sampai sekarang."
"Kenapa pula harus minder kalau emang mau deketin perempuan seperti Joyce?" Dan Mama masih akan menanggapi perkataan bernada julid itu dengan nada tenang. "Merasa nggak mampu bersaing? Ya ampun, Bu Retno. Pernikahan kan juga bukan tentang persaingan antara suami dan istri soal mana yang gaji sama pendidikannya lebih tinggi. Hal-hal kayak gitu nggak akan didiskusiin di meja makan. Kalau perkara minder sih, ya salah laki-lakinya sendiri dong. Kenapa harus merasa minder segala coba? Joyce sukses juga karena usaha dan kerja kerasnya sendiri, bukan karena didomplang nama bapaknya. Saya sih yakin, kalau ada laki-laki yang mau sama anak saya nanti dan nggak minder deketinnya, artinya dia bukan laki-laki sembarangan. Pasti laki-laki hebat."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...