"There are days worth living still, worth the pain of this life and the pain from his death."
— Joyce Danadyaksa
***
Dalam mimpinya semalam, Joyce masih ingat dengan begitu jelas bagaimana dia bertemu dengan putranya—bagaimana dia bertemu dengan Nathaniel yang dia rindu habis-habisan semenjak kepergiannya yang meninggalkan luka berbulan-bulan sebelumnya.
Di dalam mimpinya yang sampai detik ini masih dia ingat, Nathaniel punya wajah yang mirip sekali dengan papanya. Anak laki-laki itu benar-benar merupakan cetak biru Jeffrey. Seperti versi mininya namun dengan bentuk hidung dan mata milik Joyce. Tampan sekali sampai-sampai Joyce langsung merasa ingin menangis ketika melihatnya, sebab dia tahu kalau apa yang dia lihat tidak benar-benar nyata.
"Nathaniel...?" Joyce perlahan merendahkan tubuhnya hingga tingginya sejajar dengan tinggi tubuh anak laki-laki yang berada di hadapannya. Mereka sedang berada di tengah-tengah sebuah ladang bunga tulip dengan banyak warna sekarang. Sepoi angin berhembus lembut, membawa aroma serbuk sari yang tidak terlalu menyengat hidung dan menerbangkan pelan helai-helai rambut mereka. Dengan kedua tangannya yang bergetar samar, Joyce merangkum lembut sisi-sisi wajah Nathaniel yang tampak sedikit pucat. Rasanya dingin, namun begitu nyata. "Kesayangannya Mama..."
"Mama..." Nathaniel memanggil dengan suaranya yang di telinga Joyce terdengar seperti denting jernih lonceng gereja. Ada senyum tipis yang terulas di permukaan bibir tipisnya. Kedua tangannya yang kecil kemudian terangkat untuk menyentuh punggung tangan ibunya yang berada di sisi-sisi wajahnya. Kemudian dia bergerak untuk memeluk Joyce yang berlutut di hadapannya dengan erat sambil berkata, "Aku sayang Mama. Aku nggak pernah berhenti perhatiin Mama selama ini. Aku sedih banget karena Mama hampir setiap hari selalu menangis. Aku mau menghapus air mata Mama, tapi aku nggak bisa..."
Joyce memejamkan matanya dan membiarkan setitik air matanya lolos melewati kelopak mata yang tertutup. Dia mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Nathaniel, menghirup aroma wangi dari helai rambut pendeknya yang tidak bisa dia definisikan aroma apa. Rasanya begitu utuh dan melegakan bisa memeluk putranya seperti ini—hal yang di dunia nyata tidak akan pernah mampu dia lakukan karena Nathaniel sudah mati bahkan sebelum dia merasakan kesempatan untuk menghirup udara di dunia.
"Awan-awan berarakan lembut seperti sayap malaikat. Aku senang terbang bersama malaikat, Mama!" Nathaniel melepaskan diri dari pelukan ibunya dan menengadahkan kepalanya sebentar untuk menatap awan-awan serupa kapas putih tebal yang berarakan di atas kepala mereka. Dia kemudian mengembalikan atensinya lagi pada Joyce dan menghapus lelehan air mata di wajah ibunya menggunakan jemarinya yang mungil. "Mama jangan sedih, karena aku ada di tempat paling indah yang nggak bisa dibayangkan sama siapapun. Aku nggak kedinginan, aku nggak ketakutan, dan aku nggak kesepian. Ada banyak cinta seperti cinta Mama di sini. Aku bahagia, jadi Mama juga harus bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...