Life is not like water
Things in life don't necessarily flow over the shortest possible route
— Joyce Danadyaksa
***
Yogyakarta, September 2017
Pagi harinya, Joyce terbangun dengan perasaan ringan yang seakan-akan mampu membuat tubuhnya melayang. Setelah dia mengenal kejamnya dunia begitu lepas dari dunia pendidikan dan mendedikasikan dirinya sebagai budak korporat, Joyce belum pernah terbangun pada pagi hari dengan perasaan senyaman ini. Dan semuanya jelas didatangkan oleh satu alasan; satu lengan Jef yang merengkuhnya ke dalam dekapan sementara lengan yang lain dia jadikan sebagai pengganti bantal.
Enggan beranjak dan mengakhiri weekend mereka di Jogja, Joyce balas melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Jef dan meletakkan kepalanya di perpotongan ceruk leher laki-laki tersebut. Tidak sulit untuk menemukan posisi tepat yang semakin menenggelamkannya ke dalam perasaan nyaman, seakan-akan tubuh mereka didesain seperti sepasang keping puzzle yang fungsinya memang untuk saling melengkapi satu sama lain.
"Good morning, babe." Merasakan gerakan Joyce dalam dekapannya, Jef terbangun. Kelopak matanya yang semula terpejam kini terbuka secelah, kemudian disapanya Joyce dengan suara rendahnya yang serak khas bangun tidur. "Sekarang hari Minggu, ya? Duh, sayang banget sesi weekend kita harus berakhir hari ini." Dia membawa Joyce semakin merapat ke dadanya sambil menghembuskan napas panjang. "This is the most wonderful weekend I've ever had in my life. Rasanya nggak rela banget semuanya harus berakhir secepat ini."
"Habis mimpiin apa sih kamu, Jef?" Joyce mengernyitkan cuping hidungnya samar sembari memainkan pelan jemarinya di sepanjang tulang selangka Jef yang terbuka—menyusuri kulitnya yang seolah tidak memiliki satupun cacat dengan gerakan seringan bulu. "Clingy banget pagi-pagi begini cuma karena liburan kita mau berakhir. Kan masih ada weekend di minggu-minggu berikutnya nanti."
Merasakan sentuhan ringan Joyce pada kulit tulang selangka dan dadanya, Jef bergidik samar. Dihentikannya gerakan tangan perempuan itu dengan meraih tangannya sebelum dia benar-benar merasa gila dan melangkah melewati batas yang sudah ditentukan. "Don't push me, Joyce. I'm already walking in a fine, fine line." Manik matanya yang sewarna mutiara hitam dari dasar laut menatap dengan begitu intens sampai-sampai Joyce merasa kalau tatapan itu bisa sewaktu-waktu melubangi kepalanya. "Kamu bakal berpikir dua kali buat melakukan yang baru saja kamu lakukan seandainya kamu tahu apa yang semalam aku mimpikan tentang kamu."
Joyce sedikit menarik dirinya dari dekapan Jef, kemudian mengangkat tubuhnya dan menumpukannya pada salah satu siku agar bisa mendapatkan akses yang lebih baik untuk menatap laki-laki itu lekat. "Please remember the rule, boy." Katanya mengingatkan sambil membawa wajahnya semakin mendekat. Joyce kemudian melanjutkan dengan bisikan tepat di depan bibir Jef, membuat laki-laki itu berusaha mati-matian untuk tidak mengerang ketika sesuatu di dalam dirinya membuncah. "No matter how desperate you want me or vice versa, we're not allowed to have sex. We can't... yet."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...