"Your tombstone reached the monstrous hole. And a part of me went down into the muddy earth with you and lay down next to you and died with you."
— Joyce Danadyaksa
***
JAKARTA, SEPTEMBER 2020
Selepas mengganti baju dan mengumpulkan seluruh pakaian termasuk sepatu ke dalam sebuah tas jinjing besar dan siap membakarnya besok, Rose mengambil jurnalnya yang dia simpan di dalam laci meja baca. Sambil duduk di atas kursinya dan bersiap untuk menulis, Rose tersenyum kecil—merasa puas kala memikirkan kembali apa yang beberapa saat sebelumnya dia lakukan. Dia sudah merencanakannya selama beberapa bulan terakhir, puas rasanya rencana tersebut akhirnya membuahkan hasil. Rose tidak tahu bagaimana keadaan Joyce maupun anaknya sekarang setelah kecelakaan yang dia sebabkan. Dia harap keduanya sama-sama tidak selamat, agar Jef tidak lagi memiliki alasan untuk merasa bahagia setelah meninggalkannya tanpa kata hanya karena melihatnya bersama Ardan bertahun-tahun lalu.
Says she's a psycho, but it's the way the world: some people will rip out your heart with a steak knife and then say, "Oops, sorry, do you need a plaster?"—sekiranya hal seperti itu yang saat ini sedang Rose lakukan.
Membuka penutup fountain pen di tangannya dan mencelupkannya ke dalam tinta, Rose kemudian mulai menulisi lembar jurnal kosongnya dengan huruf tegak bersambung yang tampak elegan. Wajahnya tampak datar ketika menulis. Sama sekali tidak terlihat gurat penyesalan meskipun dia baru saja mencelakai seseorang.
Roseanne,
I killed people tonight. Maybe they died, but I don't have any regret.
I've never jeopardize someone's life before, but I think this one's worth killing for.
I'm not fond in the idea that he's happy with someone else—much more happier than when he was with me, so I decided to committed this awful sin: killed a mother and her unborn baby. No, I don't regret it. Not even in a second. Because she—
Belum sempat Rose menyelesaikan tulisannya, suara bel apartemennya yang ditekan berulang-ulang hingga menciptakan bunyi nyaring yang terkesan tidak sabar membuatnya berhenti. Dia menutup jurnalnya dan meletakkan pena yang dia gunakan untuk menulis di atasnya lalu beranjak dari kursi. Tidak perlu berpikir terlalu panjang untuk bisa menebak siapa yang bertamu malam-malam begini dengan cara sebar-bar itu.
Bel apartemennya masih terus ditekan-tekan secara tidak sabar bahkan setelah Rose menyentuh gagang pintu dan siap membukanya. Wajah penuh kemarahan milik Danan adalah hal yang pertama kali menyambutnya begitu dia membuka pintu. "Oh, hai, Nan." Rose mengulas seulas senyuman santai, seakan-akan bukan dirinya yang menjadi alasan di balik marahnya Danan. "Just for your information, I'm not deaf. Kamu nggak perlu pencet-pencet bel sampai sebegitunya seolah-olah aku ini budeg dan nggak bisa dengar apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...