"Let us hold out hope."
— Joyce Danadyaksa
***
JAKARTA, NOVEMBER 2020
Jef meletakkan seikat bunga mawar putih pada kaki batu nisan Nathaniel dan menghela napas panjang. Sorot matanya redup oleh kesedihan yang begitu purna—kesedihan yang sedikit pun tidak berkurang meskipun sudah hampir dua bulan berlalu sejak dia terpaksa mengambil keputusan yang mengakhiri hidup anaknya.
Memandangi lekat-lekat guratan nama putranya yang tercetak pada permukaan nisan, Jef berusaha mengingat kembali kata-kata terakhir yang disampaikannya pada Nathaniel pagi itu sebelum dia berangkat ke kantor untuk bekerja. Kata-kata terakhir yang kedengarannya seperti pesan berbalut firasat.
"Jangan lupa sama kata-kata Papa tadi ya, Nak. Jagain Mama selama Papa nggak ada."
Dan Nathaniel menuruti perkataannya. Dia melindungi dan menyelamatkan nyawa ibunya sampai detik terakhir hidupnya. Dan meskipun selama delapan bulan keberadaannya Jef hanya bisa merasakan anak itu melalui setiap gerakan yang dia ciptakan dari balik perut Joyce, serta memantau perkembangan dan pertumbuhannya melalui USG rutin setiap bulan, Jef tetap merasa bangga pada putranya. Dalam ingatannya—untuk selamanya—Nathaniel akan selalu dia kenang sebagai pahlawan nyawa bagi Joyce, sekalipun hal tersebut tidak lepas dari campur tangannya.
Jef memejamkan matanya sejenak dan—untuk yang ketiga kalinya begitu dia menginjakkan kaki di makam Nathaniel—menghela napas panjang. Seandainya dia sadar kalau pagi itu adalah kali terakhir dia bisa mengajak putranya yang masih dalam kandungan Joyce bercakap-cakap, Jef tidak akan pernah sedetik pun meninggalkan mereka berdua. Tidak akan pernah sedikit pun melepaskan pengawasan dari istri dan anaknya.
"Sayang, Papa tau kamu bisa dengar suara Papa di sana, di mana pun kamu berada sekarang. Ada satu hal yang mau Papa katakan dengan menjenguk kamu sore ini," Jef melarikan tangannya pada guratan nama Nathaniel atas nisan yang terbuat dari batu keramik warna kelabu. Mirip seperti batu nisan milik neneknya—mendiang ibu Jef, Tatia—yang letaknya berada persis di sebelahnya. "Kalau kamu bisa dengar Papa, tolong kamu sampaikan ke Tuhan buat bikin Mama berhenti merasa sedih, ya? Seandainya Papa punya pilihan lain, Nak, Papa nggak akan ambil keputusan yang berujung pada kematian kamu. Nggak akan pernah. Kamu segalanya buat Papa sama Mama."
Jef menarik napas dalam-dalam dan mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali untuk menghalau keberadaan air mata yang siap tumpah dari sana. "Sayangnya Papa nggak punya pilihan lain, Nate. Pilihannya hanya antara menyelamatkan kamu atau menyelamatkan mama kamu. Papa nggak mau—nggak bisa—kehilangan Mama, jadi akhirnya Papa terpaksa ambil keputusan buat mengorbankan kamu. Maafin Papa ya, sayang? Maaf kalau menurut kamu keputusan yang Papa ambil ini egois seperti yang selalu Mama kamu katakan. Maafin Papa. Maaf..."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPERFECTLY PERFECT
RomanceThe beauty of love lies in its imperfections. There is always beauty in things that are odd and imperfect and being flawed is not always a bad thing. Being in love in the blink of an eye isn't the exception. It's perfect and imperfect at the same ti...