1

2.6K 173 2
                                    

2010

Tay memandang pintu dimana dokter itu menghilang. Kemudian menghela nafasnya. Ia masih mengingat apa yang dikatakan oleh dokter muda itu.

"Saudara New tidak mengalami benturan yang keras. Jadi saudara New bisa pulang hari ini juga." Tay mengangguk mendengarnya. Setengah bersyukur bahwa orang yang menyelamatkannya ikut selamat.

"Tapi dokter, benarkah kepalanya baik-baik saja? Maksudnya, tidak ada gangguan pada otaknya?" ada nada takut pada kalimat Tay. Ia menyamarkannya dengan bisikan. Bagaimanapun ia baru saja mendengar New mengatakan cerai padanya. Ia bahkan belum menikah, bagaimana bisa cerai?

Dokter itu tampak berpikir sebentar, lalu menggeleng pelan. "Tidak, saya rasa tidak ada yang salah. Memangnya ada apa, tuan?"

It-itu... Tay menggeleng patah-patah. Matanya menatap New yang ikut mendengar pembicaraan mereka dari atas ranjangnya. Dengan itu, dokter tersebut pamit keluar. Meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.

Tay duduk di kursi terdekat. Matanya sibuk mengawasi New. Bagaimana bisa ia begitu mudah menyerahkan nyawanya? New pasti lah tahu bahwa yang ia lakukan adalah hal yang berisiko.

"Oi bodoh, apa kau mendengarku?" New yang memunggunginya kemudian bertolak. Mata mereka saling bertemu dengan pandangan yang berbeda. New tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengedipkan matanya yang terasa perih sesekali.

"Kau sudah bisa pulang hari ini. Setelah orang tuamu datang, kau bisa pulang."

Orang tua? Alis New tertaut.

Tay bangkit hendak meninggalkan ruangan itu. Namun New bangun dengan cepat menimbulkan bunyi aneh pada persendiannya. Wajahnya mengernyit menahan sakit yang menjalar pada semua tulangnya. Tay berbalik menghampirinya dengan raut cemas.

"Kau tidak apa-apa? Ataukah mau ku panggilkan dokter?"

New menggeleng pelan, mendudukan dirinya pada posisi yang nyaman. Tangannya digenggam oleh Tay membuat wajahnya memerah. Tidak lama, karena Tay langsung melepaskannya begitu New menatap matanya.

"Kalau begitu aku temani sampai orang tua mu datang saja." Kemudian suasana menghening. Tay memandangi ruangan putih itu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia menoleh memperhatikan New yang ternyata tengah memperhatikannya juga.

"Aku berterima kasih atas apa yang kau lakukan. Aku─ terima kasih, New Thitipoom." Kebingungan tersirat di wajah New. Apa maksudnya? Bukankah ia hendak menceraikan Tay? apakah Tay benar-benar tidak mencintainya hingga ia merasa senang diceraikan oleh New?

Tangan Tay meraba jaketnya. Ia terkejut saat mendapatkan segenggam ponsel pada sakunya. Ia baru ingat, itu adalah ponsel New. Ia menggunakannya saat panik melanda. Juga dengan ponsel itu ia menghubungi kedua orang tua New.

"Ini ponselmu. Maaf jika aku lancang menggunakannya. Aku harus melakukannya untuk menghubungi keluargamu." New melirik pada ponsel yang kini berada ditangan Tay. ponsel itu terulur padanya.

New mengambilnya dari tangan pemuda itu. Lalu menatapnya dalam-dalam. Ini bukan ponselnya.

Ia masih berpikir tentang apa yang terjadi saat ini. Sampai-sampai kepalanya terasa nyeri.

"Tay."

Setengah kaget, Tay menoleh. Suara New tak lagi selemah saat ia membuka mata.

"Ya?"

"Orang tua ku sudah meninggal. Dan kau tahu itu kan?"

Tay masih menatap New. Kini dengan pandangan cemas. Jelas-jelas ia mendengar sendiri suara orang tua New. Apakah pemuda dengan rambut hitam itu tengah menjahilinya?

FORGET ME NOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang