4

1.3K 156 8
                                    




2020

New menerima sebuah kartu kredit milik Tay. Ia melirik pria itu yang tengah memakai dasinya.

"Kemana kau akan pergi?"

"Kerja." Benar juga, meski Tay dalam ingatan New adalah anak SMA biasa, namun di kehidupan sekarang pasti Tay sudah bekerja.

"Apa pekerjaanmu?"

"Tidak bisa kau menebaknya?" New menatap Tay dari atas hingga bawah. Setelan resmi seperti ini mungkin cocok untuk karyawan.

"Apa kau adalah pekerja kantor?"

"Hm."

New memutar bola matanya. Ia sebenarnya malas sekali berbicara dengan Tay karena ia begitu menyebalkan. Percakapan yang New bangun akan rubuh dengan perasaan dongkol. Ia menyesal bicara. Tapi New penasaran juga.

"Tay, dimana kau bekerja?"

Tay tidak menjawabnya, melainkan memberi sebuah selembar kartu nama. Di sana tertera nama Tay dan jabatannya sebagai direktur. Namun yang membuat rahang New jatuh bukanlah posisi yang di lakoni Tay, melainkan nama perusahaannya.

"Ini adalah perusahaan ayahku. Bagaimana bisa kau menjadi direktur di sana?" Tanya New membulatkan matanya.

"Karena aku menantunya." Kata Tay seraya mengambil tasnya yang berada di dalam ruang kerjanya. Mau tidak mau New mengekor di belakang Tay dengan pandangan tidak puas dari jawaban Tay.

"Ohya? Segampang itu ayahku memberikanmu perusahaannya?"

New memiringkan kepalanya. Ini masih sulit dipercaya, ayahnya menyerahkan perusahaan kepada orang seperti Tay. Meski memang Tay adalah menantunya hanya saja dirinya dan Tay tidak saling mencintai.

"Apa ayahku tahu jika kita tidak saling mencintai?"

Tay menoleh sebentar. Bahunya terangkat. "Entahlah."

"Lalu bagaimana jika kita berpisah?"

Pertanyaan New membuat langkah Tay terhenti. Ia berbalik menatap New yang berdiri tak jauh darinya. "Tidak akan. Kita tidak akan berpisah." Ujarnya pelan.

"Apa karena ayahku memberimu perusahaannya?"

Tay melangkah mendekati New hingga kini mereka hanya berjarak tidak lebih dari satu meter. "Apa menurutmu aku orang seperti itu?"

New mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, bukankah aku amnesia jadi aku tidak ingat apapun? Lagipula, kita tidak saling mencintai. Apalagi alasan yang bisa ku pikirkan?"

Tay menatapnya dengan pandangan iritasi. Tangannya mencengkram erat bahu New.

"Kau pikir aku senang menerima perusahaan ayahmu itu?" Tay mendekatkan wajahnya, membuat New memalingkan pandangannya. "Tidak, New Thitipoom. Aku membencinya." Desisnya.

Tay lalu berbalik cepat, menyambar tasnya yang ia letakkan di dekat pintu. Keluar dari sana dan membanting pintu rumahnya.

Meninggalkan New sendirian. Kakinya lemas, ia menyesal.

.

.

.

2010

Tay berjalan menuju ruang seni, sudah sejak istirahat ia menunggu kesempatan ini. Setelah melewati beberapa belokan akhirnya ia sampai pada pintu bertuliskan 'Ruang seni' itu.

Kakinya melangkah pelan menuju sebuah grand piano berwarna cokelat gelap yang terletak di tengah ruangan. Dengan timpaan sinar yang menembus dari jendela besar sampingnya, Tay dapat melihat tuts piano yang mengodanya untuk segera disentuh.

FORGET ME NOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang